Aku merasakan ada cahaya di belakang mataku dan perlahan-lahan membuka kelopak mataku.
Di balik celah gordenku, matahari mengintip melalui ruang sempit di antara bangunan.
"...!"
Gawat...
Kenangan semalam kembali membanjiriku. Aku ingat Ayase-san meringkuk di bawah selimutku dan memeluknya sampai dia tenang. Aku ingat merasakan tubuhnya yang hangat dan nafasnya yang tenang. Dan, aku ingat saat aku sendiri terlelap dalam tidur.
Di apartemen kami. Dengan Ayahku dan Akiko-san di sini.
Kakak beradik usia TK yang menghabiskan malam dengan berpelukan di ranjang yang sama mungkin baik dan bagus, tapi dua orang kakak beradik usia SMA? Tidak mungkin hal itu terjadi di Jepang modern, kecuali mereka terjebak di gunung yang tertutup salju saat terjadi bencana, bukan? Hal itu mungkin juga terjadi jika kakak beradik itu sangat dekat, tapi... bukan itu intinya;
Ayase-san dan aku sama sekali tidak memiliki hubungan darah.
Sederhananya, kami hanya anak laki-laki dan perempuan yang kebetulan saling menyukai.
Tunggu sebentar, bukankah akan lebih buruk lagi jika kami memiliki hubungan darah?
Etika cinta saudara kandung cukup rumit.
... Dimana Ayase-san?
Tidak ada tanda-tanda dia tidur di sampingku.
Apa dia sudah bangun sebelum aku dan meninggalkan kamar?
Aku buru-buru duduk dan selimut di pundakku terlepas.
Selimut?
Aku menatap kain yang melingkar di pinggangku, mencoba mengingat-ingat.
Satu-satunya benda yang kuletakkan di atasnya adalah selimut tipis. Pendingin ruangan sudah mati dan suhu ruangan sudah turun drastis sejak pagi tadi. Kemungkinan besar, Ayase-san yang memakaikan selimut ini padaku.
Aku memegang kain lembut itu di tanganku, tetapi kehangatannya sudah hilang. Ketiadaan itu membuatku teringat akan panas yang kurasakan di sampingku dan pipiku menjadi panas. Aku tidak percaya aku tertidur seperti ini. Tetapi kehangatan tubuh rampingnya yang aku peluk begitu menghibur. Itulah mengapa aku takut kehilangannya. Hanya sedikit gerakan saja, rasanya akan membuatnya menghilang dan aku tidak bisa memaksa diri untuk menggerakkan tubuhku.
Rasanya seperti seorang pencinta kucing yang tidak ingin membangunkan kucing yang sedang tidur di pangkuannya-yah, mungkin tidak.
Aku tertidur tanpa mengganti baju tidurku. Aku menatap pakaian kusutku dengan cemberut, lalu melihat ke sekeliling ruangan yang remang-remang lagi.
Seperti yang kupikirkan, Ayase-san tidak terlihat.
Aku menyalakan lampu, berdiri dan memeriksa pintu. Tidak terkunci. Dia mungkin sudah bangun lebih awal dan meninggalkan kamar. Ayase-san sudsh mengunci pintu dari dalam saat dia masuk. Jadi, aku tidak berpikir dia terlihat oleh Ayahku atau Akiko-san. Namun, aku terlalu ceroboh kali ini.
Memeriksa waktu, sudah lewat jam 7 pagi dan jika aku kembali tidur, aku pasti akan terlambat. Aku tidak punya pilihan lain selain bangun.
Membayangkan kecanggungan menghadapi Ayahku dan Ayase-san (Akiko-san mungkin masih tertidur) membuat kakiku terasa berat, tetapi aku tidak bisa terus berada di kamar selamanya. Aku menguatkan diri dan meninggalkan kamar.
Aku membasuh wajahku di kamar mandi. Air dingin di wajahku membantu menghilangkan rasa gundah di hatiku.
"Fiuh..." Aku menarik napas dalam-dalam dan menuju ke ruang makan.
Ketika aku membuka pintu, Ayase-san ada di sana. Mata kami bertemu saat dia berbalik- dan dia membuang muka.
Itu sangat cepat. Terlebih lagi, aku hampir tidak bisa menahan rasa canggung Ayase-san terhadapnya, karena aku memalingkan wajahku pada saat yang sama.
Dia sudah berganti pakaian dengan seragam sekolahnya dan mengenakan celemek di atasnya. Dia sudah bangun tanpa masalah dan membuatkan sarapan untuk kami-membuatku merasa bersalah karena tidur begitu nyenyak dan malu karena tidak melakukan bagianku.
Jantungku berdegup kencang, membuatku tidak bisa menenangkan diri.
Tanpa melihat wajahnya, aku berbicara.
"Selamat pagi..."
"Mm. Selamat pagi."
Tanggapan Ayase-san juga cukup canggung.
Aku melirik ke arah Ayahku yang duduk di meja makan. Dia mungkin sedang membaca koran di tabletnya dan tidak mendongak.
Ah, itu melegakan.
Saat aku duduk di meja, aku bertepuk tangan untuk berterima kasih atas makanan yang ada di hadapanku. Hari ini, kami menyantap filet salmon panggang, rumput laut panggang dan parutan lobak daikon-sebuah sarapan yang sangat tradisional khas Jepang.
Dengan bunyi gedebuk ringan, semangkuk nasi diletakkan di depanku. Uap mengepul dari bulir-bulir nasi yang putih mengilap.
Kelihatannya lezat.
"Ini dia," kata Ayase-san sambil melepas celemeknya.
"Makasih."
Mata kami bertemu sejenak, tapi kami berdua dengan cepat membuang muka.
Ugh, canggung sekali...
"Ittadakimasu..."
"Hm, ada apa?"
Ayahku menatapku.
"Tidak ada apa-apa."
"Kau sangat pendiam. Juga, kau bangun kesiangan. Apa kau baik-baik saja?"
"Aku memang bangun kesiangan, tapi aku baik-baik saja."
"Kalau kau terburu-buru, kau bisa meninggalkan piring dan pergi. Aku bisa membersihkannya karena aku harus masuk kerja lebih awal hari ini."
"Tidak, tidak apa-apa. Aku bisa melakukannya."
Aku membelah filet salmon panggang dengan sumpitku, menaburkan kecap asin di atasnya dan menaruhnya di atas nasi. Aku menyendok nasi dan salmon dengan sumpit dan membawanya ke mulutku sekaligus. Salmonnya dipanggang dengan pas, masih lembab dan nasinya pulen dan mudah dikunyah. Jus dari ikan, nasi putih dan kecap asin bercampur menjadi satu saat aku mengunyah, menciptakan kelezatan yang tak terlukiskan, tetapi aku tidak memiliki cukup waktu untuk menikmatinya dengan benar hari ini. Mengunyah secara perlahan lebih baik untuk perut dan kesehatan secara keseluruhan, tetapi jika aku tidak menyelesaikannya dalam lima menit, aku akan terlambat.
Untuk saat ini, aku harus sedikit mengabaikan kesehatanku dan bergegas makan.
Ayase-san mengambil tasnya dan berbalik membelakangi kami.
"Aku berangkat dulu."
Aku memperhatikan punggungnya saat dia menghilang ke pintu masuk. Ayahku berseru, "Hati-hati!"
Aku buru-buru memanggilnya juga.
"Berhati-hatilah!"
"Yuuta, telan dulu sebelum ngomong."
"Ah, ya."
Aku tahu itu, tapi aku juga ingin mengantarnya dengan baik saat dia pergi dan menyapanya saat dia pulang.
Aku mendengar suara samar pintu depan ditutup saat aku melanjutkan makan.
"Hei, Yuuta," kata Ayahku dengan suara pelan.
Aku merasakan jantungku berdebar.
"... Uh, ya?"
"Jangan begadang terlalu malam. Sia-sia saja kalau kau merusak kesehatanmu."
"Oh, itu toh."
"Lah?"
"Oh, tidak, jangan khawatir. Aku tidak begadang sampai larut malam."
"Benarkah begitu? Kalau begitu, tidak apa-apa."
Maaf, Ayah. Bukan karena aku begadang, tapi aku tidur lebih awal. Dan itu bukan karena aku terlambat belajar. Aku tertidur sambil memeluk Ayase-san.
Saat aku mencoba mengatakannya dengan kata-kata, rasanya sangat tidak bermoral.
Tapi, aku tidak bisa menceritakan t.entang Ayase-san kepada Ayahku tanpa sepengetahuannya. Jika aku sampai pada titik di mana aku harus memberitahunya suatu hari nanti, aku hanya akan melakukannya setelah aku berbicara dengannya terlebih dahulu.
... Apakah aku bisa melakukan itu?
Ketika aku berpikir untuk memberitahu Ayahku dan Akiko-san tentang hubungan kami, aku merasa gugup dan bersalah.
Tidak, bukan rasa bersalah tepatnya, tapi─ Keraguan untuk berterus terang tentang hal itu, kurasa...
Oh tidak, sudah waktunya untuk berangkat sekolah!
"Terima kasih untuk makanannya!"
Aku buru-buru membereskan piring-piring itu dan bergegas keluar pintu.
Aku mencium aroma bunga saat mengendarai sepeda ke sekolah. Namun, aku tidak sempat berpikir, aroma apa itu.
Saat itu adalah pagi hari di penghujung musim semi.
* * *
Selama di kelas, aku mendapati diriku merenungkan kejadian di pagi hari.
Aku tidak dapat menahan perasaan bahwa kami hanya sedikit lagi akan ketahuan. Apa yang telah aku dan Ayase-san lakukan adalah sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh saudara kandung, setidaknya dalam keadaan normal.
Aku sangat lega karena kami tidak ketahuan. Tapi di sisi lain, rasanya seperti melewatkan kesempatan lain.
Jika kami bukan saudara kandung, tidak akan aneh bagi kami untuk bertindak seperti pasangan SMA pada umumnya... tetap saja, ini bukanlah sesuatu yang harus kami pamerkan di hadapan orang lain.
Lalu ada keraguan yang kurasakan untuk berterus terang.
Aku tenggelam dalam pikiran untuk mencari tahu akar penyebab perasaan itu.
Akibatnya, aku tidak bisa fokus pada kelas pagi dan sebelum aku menyadarinya, sudah waktunya makan siang.
"Yo, Asamura!"
Aku mendongak ketika seseorang memanggil namaku.
"Yoshida?"
"Melamun lagi, kawan? Ada apa kali ini? Terserahlah, ayo kita makan siang di kantin."
Kantin sekolah, ya?
Biasanya, aku hanya membeli roti dari toko sekolah, tapi aku tidak punya cukup waktu untuk makan dengan benar pagi ini, jadi aku cukup kelaparan.
"Oke, kedengarannya bagus."
Aku mengambil dompet dari dalam tas dan berdiri. Aku melirik ke arah Ayase-san. Seperti biasa, dia dikelilingi oleh para gadis, termasuk Ketua Kelas. Mereka merapatkan meja mereka, membentuk sebuah pulau.
Akhir-akhir ini, sepertinya mereka sering makan bersama seperti itu. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Ayase-san saat makan siang di kelas dua, tapi sepertiku, dia mungkin makan sendirian atau sesekali bersama Narasaka-san.
Aku kira lingkungan Ayase-san telah sedikit berubah sejak kami memulai tahun ketiga.
Tapi... bagaimana denganku?
Saat aku mengekor di belakang Yoshida, yang berjalan dengan langkah cepat, entah mengapa, aku kembali mencoba memecahkan keraguan yang kurasakan terhadap Ayahku pagi ini. Namun, pikiranku berputar-putar dan aku berjuang untuk memahami perasaan itu. Pada saat-saat seperti ini, Maru biasanya memperhatikan dan dengan santai meminjamkan telinganya agar aku bisa membicarakan masalahku... namun ini adalah masalahku sendiri dan adalah suatu kesalahan untuk berpikir bahwa orang lain harus peduli. Aku harus menemukan cara untuk menyelesaikannya sendiri-
"Kita sudah sampai."
"Oh, benar."
Aku tersentak kembali ke dunia nyata.
Yoshida memasukkan smartphonenya kembali ke dalam saku.
"Apa ada yang menelponmu?"
"Tidak, hanya sebuah pesan. Jangan khawatir."
Sambil berkata begitu, ia membuka pintu geser kantin.
Kantin SMA Suisei dibangun berdekatan dengan bangunan panjang yang menampung ruang ganti klub olahraga dan kolam renang. Di dalamnya sangat luas, terdapat lebih dari sepuluh meja yang masing-masing dapat menampung sekitar 6 orang. Namun, meskipun dapat menampung setara dengan dua atau tiga ruang kelas, kantin ini tidak terlalu populer di kalangan siswa-siswi karena pilihan menu yang terbatas. Aku mendengar dari Maru bahwa kantin ini merupakan tempat yang populer bagi para anggota klub atletik, yang berkumpul di sana dengan tatapan lapar seperti harimau yang kelaparan.
Interiornya menyerupai toko mie soba swalayan. Kau memilih menu yang kau inginkan dari mesin tiket di dekat pintu masuk, lalu mengantre di loket dengan tiketmu.
Banyak siswa yang mengantre jelas-jelas adalah atlet, terlihat dari tubuh mereka yang besar.
"Coba lihat, porsinya sangat besar di sini."
"Oh, kau benar."
"Rasanya biasa saja, tidak ada yang istimewa."
Aku tersenyum kecut mendengar pendapat Yoshida yang jujur.
"Jangan khawatir, aku juga sedang lapar sekarang."
Yoshida memilih katsudon, sementara aku memilih chikuwa¹tempura udon. Yoshida tidak berbohong, ada banyak makanan per porsi. Bahkan potongan tempuranya pun bertumpuk-tumpuk.
Aku meletakkan piring di atas nampan dan mencari-cari tempat duduk yang kosong.
"Asamura, sebelah sini."
"Eh?"
Entah kenapa, aku berjalan ke arah meja tanpa menoleh ke samping. Aku duduk di seberang Yoshida, memiringkan kepalaku dengan bingung.
Seorang gadis yang duduk di seberangku menundukkan kepalanya.
"Terima kasih atas bantuanmu kemarin."
-Hm?
Aku mengenali suaranya dan mendongak. Aku yakin dia menyapaku, tapi aku yakin aku tidak ingat pernah mengenal gadis ini.
Ah, itu dia.
"Tidak, tidak, aku tidak melakukan apa-apa. Yoshida yang melakukan sebagian besar."
"Itu benar, akulah yang berperan besar."
"Uwah, kau beneran mengatakan itu?"
Setelah lelucon itu, aku mengalihkan perhatianku ke arah gadis itu.
Dengan wajah bulat dan rambutnya yang dikuncir kembar, nama gadis ini-
"Makihara-san, kan?"
"Hore, kamu mengingatku. Ya, aku Makihara. Makasih sudah membantuku selama perjalanan sekolah."
Dia adalah gadis yang pingsan karena anemia selama perjalanan sekolah kami. Aku dan Yoshida membawanya ke hotel tempat kami menginap, dengan Makihara-san membonceng di punggungnya hampir sepanjang perjalanan.
Dia bertubuh langsing dengan kulit putih yang terlihat seperti porselen. Aku dengar dia sedikit lemah.
"Jadi ya, Yuka ingin mengucapkan terima kasih lagi."
Yuka?
"Oh, begitu ya."
Entah bagaimana, aku bisa menebak siapa yang dia bicarakan.
Jadi mereka sudah merencanakan untuk bertemu di sini sejak awal. Mengutak-atik smartphone sebelum kami masuk mungkin untuk memberitahukan bahwa kami telah tiba.
"Asamura-kun, mau teh nggak?"
"Uh-huh?"
"Aku akan mengambilkannya untukmu. Dan untuk Yoshida-kun juga."
Melihat nampan Makihara-san, ada sebuah gelas plastik yang sudah terisi 80 persen teh dengan warna yang mirip dengan hojicha |2|.
"Ah, aku bisa mengambilnya sendiri. Tidak apa-apa."
"Hanya mendapatkan teh gratis dari kantin bukanlah ucapan terima kasih, tapi biarkan aku melakukan setidaknya sebanyak ini karena aku sudah merepotkanmu."
"Terima saja, itu cara dia mengucapkan terima kasih."
"Aku merasa tidak enak karena telah membuatnya repot..."
"Tidak apa-apa, ini bukan masalah besar, sungguh," kata Makihara-san sambil tersenyum lembut dan menghampiri dispenser minuman.
"Dia cukup perhatian, bukan?"
"Ya, aku juga berpikir begitu."
Sudah sekitar 2 bulan sejak perjalanan sekolah. Jadi, kurasa dia orang yang serius berdasarkan fakta bahwa dia masih ingin berterima kasih padaku.
"Tapi, hei, Yoshida, apa yang akan kau lakukan jika aku tidak datang ke kantin bersamamu?"
Biasanya, aku hanya akan membeli sesuatu dari toko, tetapi aku bergabung dengan Yoshida hari ini karena aku belum makan sarapan yang layak. Itu hanya sebuah kebetulan.
"Jangan khawatir, Yuka dan aku akan makan siang berdua saja."
"Ah... apa aku hanya pengganggu sekarang?"
"Tidak, tidak."
"Apa yang kalian bicarakan?"
Makihara-san telah kembali. Dengan ketukan ringan, ia meletakkan secangkir teh di atas nampan kami berdua.
Sambil mengucapkan terima kasih, aku dan Yoshida berpura-pura tidak membicarakan sesuatu yang penting.
Kalau dipikir-pikir, kapan lagi kita bisa makan siang bersama?
Dengan pemikiran seperti itu di kepalaku, kami mengenang perjalanan sekolah sambil makan.
Nah, membentuk ikatan yang erat melalui kesulitan adalah hal yang indah, seperti yang mereka katakan.
Aku selesai makan sebelum mereka, jadi aku permisi dan meninggalkan mereka. Kupikir mereka mungkin bisa bercakap-cakap dengan lebih baik tanpa kehadiranku. Aku meletakkan piring-piringku di meja kasir dan meninggalkan kantin.
Melangkah keluar ke bawah sinar matahari yang cerah, aku menyipitkan mata. Menjelang akhir bulan April, matahari semakin menyengat. Langit biru begitu terang hingga melukai mataku dan aku segera mencari perlindungan di dalam gedung sekolah. Ketika aku berjalan menuju ruang kelas, aku tidak bisa menahan rasa cemburu melihat Yoshida dan Makihara-san makan siang bersama seperti itu.
Aku sadar bahwa aku menyukai Ayase-san dan dia mengatakan bahwa dia juga menyukaiku. Setelah perjalanan sekolah, kami memutuskan untuk berhenti memaksa diri untuk menyembunyikan perasaan kami dan menjadi senormal mungkin di sekitar satu sama lain.
Tapi pada kenyataannya, apa hubungan kami?
Bahkan setelah menyatakan cinta dan bahkan berciuman-belum lagi tertidur dalam pelukan satu sama lain. Kami entah bagaimana bahkan tidak bisa makan siang bersama.
Mengapa semuanya menjadi seperti ini?
Dan karena kami bahkan tidak bisa mengobrol dengan baik di sekolah, kami berdua merasa kesepian. Jadi, ketika kami sampai di rumah, kami tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh satu sama lain setiap kali kami sendirian.
Apa ini benar-benar "bertingkah normal?'
Ayase-san dan beberapa gadis berpapasan denganku saat aku memasuki ruang kelas dan aku bertanya-tanya, ke mana mereka pergi. Mata kami bertemu sejenak, tetapi kami berdua dengan cepat membuang muka.
Kami tidak berbicara sama sekali di sekolah selama sisa hari itu dan tak lama kemudian tiba waktunya untuk pulang.
* * *
Di malam hari, aku harus bekerja di toko buku lagi.
Ayase-san dan aku memiliki shift yang sama, tetapi kami tetap tidak saling bertegur sapa.
Tentu saja, kami tidak bisa mengobrol atau menyentuh satu sama lain selama bekerja. Di ruang sempit di belakang meja kasir, bahu kami hampir bersentuhan. Tapi ketika aku sedang menyampul buku, memeriksa harga sesuatu atau menerima pembayaran dari pelanggan, tidak ada waktu untuk memperhatikan kehadiran satu sama lain. Ayase-san begitu dekat, namun begitu jauh.
Saat istirahat, aku duduk sendirian di kantor, minum teh yang dibuat dari dispenser air panas dan mengingat kembali percakapanku dengan Yoshida saat makan siang.
Aku merasa cemburu melihat Makihara-san dan dia mengobrol dengan gembira.
Bukankah itu hal yang sama dengan yang dikatakan Ayase-san beberapa hari yang lalu?
'Makan siang bersama, ya. Kedengarannya menyenangkan.'
Ayase-san mengatakan itu karena dia cemburu pada Shinjo dan aku yang makan siang bersama. Aku akhirnya mengerti apa yang dia rasakan.
Namun, aku masih memikirkan apa yang terjadi pagi ini dan aku senang orang tua kami tidak memergoki kami di tempat tidur bersama. Lalu ada perasaan canggung yang kumiliki terhadap Ayahku.
Mengapa aku ingin menyembunyikan hubungan kami dari Akiko-san dan dia?
Jika aku berterus terang, Ayase-san dan aku bisa bersikap seperti pasangan SMA pada umumnya. Memang, ada kemungkinan Ayahku dan Akiko-san akan menentang hubungan kami. Tidak ada hukum yang melarang kami untuk bersama karena kami hanya saudara tiri, tapi mereka mungkin merasa tidak nyaman dengan hal itu karena kami adalah sebuah keluarga.
Yah... Ayahku setidaknya tidak tampak seperti orang seperti itu. Bahkan jika aku diteriaki atau diberitahu bahwa aku tidak bisa bersamanya, aku tidak ingin berbohong tentang perasaanku padanya. Aku ingin mengatakannya dengan lantang dan jelas ketika saatnya tiba, seperti ketika aku membelanya di depan Kakekku.
Aku ingin bisa mengatakan, 'Aku ingin berkencan dengan Ayase-san.' Tidak hanya sekarang, tapi selalu.
Ah, aku mengerti. Itu datang kepadaku. Aku belum bisa mengatakannya dengan percaya diri, baik kepada Akiko-san maupun Ayahku. Aku tidak bisa meminta mereka untuk menerima hubungan kami saat ini apa adanya, dengan diriku yang bahkan tidak tahu apa yang ingin kulakukan dalam hidupku.
Aku mendengar ketukan di pintu dan pintu terbuka. Aku mendongak dan mataku bertemu dengan mata Ayase-san saat dia masuk. Jantungku berdegup kencang karena aku benar-benar baru saja memikirkannya.
"Ayase-san?"
"Ah, um..." Dia masuk ke dalam ruangan dan dengan lembut mendorong pintu di belakangnya. Tindakannya sama seperti semalam dan jantungku berdegup kencang dengan perasaan déjà vu.
"U-Um, tentang kejadian kemarin... Aku minta maaf."
"Tidak, aku juga ceroboh."
"Mungkin aku hanya lelah. Aku tidak percaya aku ketiduran. Apa kamu masuk angin?"
"Tidak, aku baik-baik saja. Um, apa kau juga sedang istirahat, Ayase-san?"
Kupikir pasti akan terjadi sesuatu seperti itu, tetapi saat aku mengatakannya, wajah Ayase-san berbinar-binar karena sadar.
"Ah, tidak. Asamura-kun... a-ah, maksudku Asamura-san, manajer memanggilmu. Dia ingin kamu datang ke gudang."
"Eh...?"
"Seperti yang aku katakan, dia memanggilmu."
Jadi dia datang untuk menyampaikan sebuah pesan.
"A-Ah, aku sudah memberitahumu sekarang, jadi..." Setelah mengatakan itu, Ayase-san bergegas keluar dari pintu lagi.
Tanpa ada pilihan lain, aku meninggalkan waktu istirahatku dan meninggalkan kantor. Dipanggil ke gudang mungkin berarti membantu mengemas barang yang dikembalikan atau semacamnya. Setelah pergi, aku baru menyadari bahwa, selain menyapa, percakapanku dengan Ayase-san barusan adalah percakapan pertama kami hari itu di tempat kerja. Jika kau bisa menyebut menyampaikan pesan sebagai "percakapan".
"Asamura-san, ya..." Sudah menjadi kebiasaan Ayase-san untuk mengoreksi cara bicaranya kepadaku dengan sopan, untuk menjaga jarak di antara kami. Meskipun hanya kami berdua di dalam ruangan, tampaknya.
"Ada apa, Asamura-kun?" Manajer bertanya padaku saat aku membuka pintu gudang.
"Eh...? Ah."
Aku mendorong pikiranku tentang Ayase-san ke belakang untuk saat ini. Aku harus fokus pada pekerjaan.
"Um, apa kau butuh bantuanku untuk sesuatu?"
"Ya, aku tidak masalah jika kau melakukannya setelah istirahat."
"Tidak apa-apa, aku sudah cukup istirahat."
"Maaf soal ini. Aku ingin kau membawa kotak-kotak pengembalian ini ke rak pengiriman."
Ada satu, dua... tujuh kardus yang penuh sesak di kaki sang Manajer.
"Apa ini semuanya?"
"Ya, hanya itu."
Jadi, bukan mengepak, tapi membawa.
"Mengerti. Aku akan membawa gerobak dorong."
Perusahaan pengiriman yang mengambil barang yang dikembalikan mengambil kotak kardus yang kami tumpuk di rak pengiriman.
Dengan kata lain, jika kami tidak menaruhnya di sana pada waktu tertentu, barang tersebut akan dianggap tidak dikembalikan. Perusahaan pengiriman biasanya datang larut malam, tetapi karena toko sudah tutup pada saat itu, kami perlu memindahkan paket selama jam kerja.
Dan sebagian besar pekerjaan pengangkutan dilakukan oleh pekerja paruh waktu yang masih muda, sepertiku. Kurasa menjadi muda tidak selalu berarti kuat, tetapi tidak ada gunanya mengeluh. Pekerjaan adalah pekerjaan.
"Kurasa kau mungkin perlu melakukan dua kali perjalanan. Apa kau bisa mengatasinya?"
"Ya."
Aku membawa gerobak dorong, memasukkan kardus-kardus ke dalamnya dan menumpuknya di rak. Aku melakukan dua kali perjalanan. Setelah selesai, waktu istirahatku sudah habis dan aku langsung kembali ke kasir.
Seperti sebelumnya, Ayase-san berdiri di sebelahku, tetapi giliran kerja kami berlalu tanpa banyak bicara. Kalaupun ada, hanya hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti, 'Tolong ambilkan itu' atau 'Bisakah kamu memberi penutup pada ini untukku?' Ya, kami sedang bekerja.
Tetap saja, rasanya frustasi karena tidak bisa menyentuh satu sama lain dan kami pasti akan mencarinya saat kami sampai di rumah.
-Apakah kita akan terus seperti ini?
Pertanyaan itu muncul dari lubuk hatiku.
Aku tahu satu hal yang pasti-aku tidak ingin orang tua kami mengetahui hubungan kami. Meskipun aku yakin dengan perasaanku, aku tidak yakin dengan masa depanku.
Melihat Ayase-san berubah begitu banyak sejak memulai tahun ketiga kami, membuatku sadar bahwa aku belum berubah sama sekali. Pikiranku tentang masa depanku masih samar dan tidak pasti.
Setidaknya, aku ingin memiliki rencana yang solid untuk masa depanku untuk dibagikan kepada Ayahku dan Akiko-san ketika mereka mengetahui tentang Ayase-san dan aku.
Sepulang kerja, aku dan Ayase-san berjalan pulang bersama.
Saat itu sudah larut malam, tetapi angin bulan April terasa hangat. Jadi, kami tidak perlu lagi meringkuk melawan dingin.
Aroma manis bunga yang terbawa angin menandakan peralihan dari musim semi ke musim panas. Pakaian orang-orang yang lewat pun menjadi lebih tipis dan berwarna lebih cerah. Setelah Golden Week, lebih banyak orang mungkin akan mulai mengenakan baju lengan pendek.
Musim kelabu yang menyesakkan seharusnya sudah berakhir.
Namun keheningan membentang di antara Ayase-san dan aku, tidak ada kata-kata yang mengisi ruang di antara kami saat kami berjalan pulang.
* * *
"Kami pulang," kami berdua berseru saat kami membuka pintu apartemen kami. Kemudian terdengar dua helaan napas lega.
Akhirnya sampai di rumah.
Aku kelaparan. Aku harus segera makan secepatnya.
"Ah, aku bertugas memasak malam ini, kan?"
Ini hari Rabu. Giliranku untuk memasak makan malam. Karena tidak melihat sepatu di pintu masuk, kupikir Ayahku belum pulang.
Makan malam untuk tiga orang. Aku mengesampingka Ayahku. Dia biasanya memberitahu kami jika dia sedang makan di luar.
"Butuh bantuan?" Ayase-san menoleh dan bertanya padaku saat dia berdiri di lorong.
"Kalau kau membantu, itu akan mengalahkan tujuan bergiliran. Tidak apa-apa."
"Mengerti."
Hanya dengan dua suku kata itu Ayase-san mundur ke kamarnya.
Kami hampir tidak berbicara sepanjang hari.
Ah baiklah, setidaknya kita bisa makan bersama. Sekarang, apa yang harus kubuat?
Setelah memasukkan barang-barang ke dalam kamar, aku membuka aplikasi Notes di smartphoneku. Saat ini, repertoar masakanku terbatas. Jadi, aku harus berganti-ganti. Itu sebabnya aku menyimpan daftar hidangan yang bisa kubuat, dengan catatan berapa kali aku membuat masing-masing hidangan.
Saat itu sudah lewat jam 9 malam, jadi aku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu untuk hal ini... Aku mulai bosan dengan tumis sayuran.
"Mari kita lihat apa yang ada di lemari es."
Pertama-tama, aku perlu melihat bahan-bahan apa saja yang kami miliki.
Saat aku membuka lemari es, aku menemukan sebuah panci yang ditutupi dengan bungkus plastik.
... Apa ini?
Aku mengeluarkannya untuk mengintip. Ternyata itu adalah sisa nikujaga |3|, dengan sekitar seperempat isi panci yang tersisa. Akiko-san mungkin membuatnya untuk makan siang dan menaruh sisa makanannya di lemari es.
Baiklah, jika aku memanaskannya saja...
"Apa ini cukup?"
Kami memiliki sayuran di lemari es, tetapi tidak ada daging.
Jika ragu, cari di Google 'Nikujaga+sisa makanan' Kroket, rebusan, gratin, kari... ada beberapa pilihan.
... Kari, ya?
Itu mungkin enak. Aku tidak bisa menambahkan lebih banyak daging, tapi aku bisa menganggapnya sebagai kari sayuran. Dengan begitu, aku bisa menambahkan roux kari yang dibeli di toko dan itu sudah cukup. Aku akan menambahkan beberapa kentang, wortel dan bawang bombay.
Aku menambahkan air langsung ke dalam panci berisi sisa-sisa nikujaga, lalu menambahkan roux kari. Saat memanaskannya di atas kompor, aku memotong sayuran. Sayuran tambahan tidak akan matang dengan baik, jadi aku memanaskannya di dalam microwave selama sekitar 5 menit sebelum menambahkannya ke dalam panci. Yang tersisa hanyalah membiarkannya mendidih.
Sementara kari mengepul, aku menggunakan kesempatan ini untuk melihat-lihat resep "sisa" lainnya. Sepertinya aku akan mengandalkan resep-resep itu di masa depan. Aku ingin tahu apa saja yang bisa dibuat dengan menggunakan bahan-bahan tersebut.
Kari yang terbuat dari sisa oden |4|, kari yang terbuat dari sisa chikuzenni, kari yang terbuat dari sisa zoni, kari yang terbuat dari sisa sup krim.
Wow, kari benar-benar serbaguna. Jika ragu, buatlah kari. Semuanya biasanya berhasil..
Aku mencicipi kari dan menyesuaikan bumbunya. Rasanya sedikit lebih pedas dari biasanya, tapi aku merasa aku membutuhkannya sekarang. Aku juga menambahkan bumbu tambahan untuk menutupi rasa asli nikujaga. Mungkin karena kaldu asli dicampur, tetapi kari ini masih memiliki sedikit rasa dashi khas Jepang. Nah, tidak perlu khawatir.
Setelah menata meja, aku berseru, "Sudah siap!"
Ayase-san mengendus udara saat dia masuk ke ruang makan.
"Aromanya enak. Kamu membuat kari?"
"Akiko-san meninggalkan beberapa nikujaga untuk kita. Jadi, aku menggunakannya."
"Sisa kari, ya? Rasanya seperti di rumah sendiri, bukan begitu?"
"Yah, kau bisa menyebutnya malas, kurasa."
"Kenapa? Aku tidak akan mengatakan itu. Kalau itu malas, berarti semua masakan yang kubuat juga malas."
Ayase berbicara sedikit lebih cepat dari biasanya dan aku terkejut.
"Menurutmu begitu? Menurutku masakan yang kau buat selalu sangat enak."
"Oh, benarkah? Bukankah aku pernah lupa mengasinkan daging dan akhirnya harus meminta maaf?"
Oh...
"Ah, aku ingat sekarang. Itu adalah waktu ketika aku tidak tahu apa itu marinasi."
Kalau aku tidak salah ingat, itu terjadi tepat setelah Ayase-san dan Ibunya pindah ke rumah pada awal bulan Juni tahun lalu.
"Jadi itu yang kamu ingat, ya?"
Senyum masam Ayase-san akhirnya mencairkan ketegangan dingin yang menumpuk di antara kami dan rasa canggung sedikit berkurang.
Kami berdua duduk, menyatukan tangan, dan berkata, ''Ittadakimasu.''
"Mmm, ini enak sekali."
Mendengarnya dari seorang juru masak yang terampil seperti dia, membuatku senang.
"Ini mungkin sedikit pedas."
"Iya ... memang lebih pedas dari biasanya, tapi tetap enak. Aku bahkan tidak bisa merasakan rasa nikujaga yang kamu coba tutupi."
"Haha, gagal."
Kami terus mengobrol dengan santai seperti itu. Kami berjingkat-jingkat di sekitar gajah di dalam ruangan-apa yang terjadi semalam-saat percakapan perlahan-lahan beralih ke apa yang ada di pikiran kami berdua baru-baru ini. Masa depan kami atau lebih spesifiknya, mencari pekerjaan.
Ketika aku bercerita kepada Ayase-san tentang pembicaraan panjang yang kulakukan dengan Ayahku, dia mengatakan bahwa dia juga mengalami hal yang sama dengan Akiko-san.
"Kita melakukan hal yang sama, bukan?"
"Mm. Yah, kurasa itulah yang dimaksud dengan menjadi siswa yang sedang mempersiapkan diri untuk ujian masuk."
Meskipun ini bukan pertama kalinya kami mengikuti ujian, ujian masuk Universitas terasa jauh lebih terhubung dengan masa depan kami daripada ujian SMA biasa. Tidak perlu diragukan lagi, ada banyak orang yang akhirnya memiliki profesi tanpa harus kuliah di universitas.
"Sejujurnya, aku tidak tahu pekerjaan apa yang cocok untukku."
"Aku juga mengatakan hal yang sama kepada Ibu. Sulit untuk mengetahui apa yang cocok untukmu."
"Kurasa memang seperti itu."
Ayase-san mengangguk dan melanjutkan, "Tidak seperti Ibuku, aku tidak pernah berpikir aku akan menjadi sehebat itu dalam hal layanan pelanggan. Aku tidak begitu suka berurusan dengan orang lain, kau tahu. Tapi sepertinya kamu punya bakat untuk itu, Asamura-kun."
"Benarkah? Aku tidak melihatnya."
"Sungguh. Aku bisa tahu dari caramu berbicara dengan pelanggan di tempat kerja. Kamu bisa dibilang seorang penyihir dalam hal membantu orang menemukan buku yang mereka inginkan."
"Yah... itu hanya karena aku membaca banyak buku."
"Mungkin itu yang dimaksud Ibu dengan, 'Sesuatu yang kamu dapatkan hanya dengan melakukan hal-hal sehari-hari'."
Hmm, itu poin yang bagus. Aku tidak pernah berpikir seperti itu.
"Jadi, di masa SMP-ku..."
"Hmm?"
Tiba-tiba mengubah topik pembicaraan, Ayase-san menatapku dengan kepala yang dimiringkan ke samping. Sikapnya begitu menggemaskan dan untuk sesaat, aku teringat betapa aku mencintainya.
"Jadi, saat itu aku menganggap diriku sebagai seorang kutu buku. Aku sangat yakin bahwa aku membaca lebih banyak buku daripada orang lain."
"Berapa banyak buku yang kau baca?"
"Satu buku sehari atau hampir setiap hari."
"Itu luar biasa."
"Iya, semua orang memujiku seperti yang baru saja kamu lakukan. Aku kira aku agak lupa diri. Lalu, aku berkesempatan untuk berbicara dengan guru Bahasa Jepangku pada waktu itu. Mereka adalah tipe orang yang rendah hati yang bahkan menggunakan kata sapaan ketika berbicara dengan murid-muridnya."
Jadi, aku terbawa suasana dan bertanya kepada mereka berapa banyak buku yang mereka baca.
"Lalu?"
"Mereka dengan santai mengatakan kepadaku bahwa mereka membaca tiga buku setiap hari. Mereka bahkan tidak menyombongkan diri tentang hal itu atau apa pun."
"Sebanyak itu... dalam satu hari?"
"Iya. Mereka mengatakannya tanpa sedikit pun rasa sombong. Saat itulah aku berpikir, 'Seperti inilah kutu buku yang sebenarnya'."
Sejak saat itu, aku tidak pernah menganggap diriku sebagai kutu buku lagi.
"Um, kamu tahu... guru itu luar biasa, tapi menurutku kamu juga luar biasa, Asamura-kun."
"Mungkin memang begitu, tapi... Itu sebabnya aku tidak bisa melihat diriku sendiri melakukannya sebagai karir.
Terutama bagi seseorang sepertiku yang ingin menjadi yang terbaik dalam berbagai hal."
"Seperti menjadi kutu buku nomor satu di dunia atau semacamnya?"
"Itu juga tidak masalah atau mungkin pegawai toko buku terbaik di Jepang. Tapi kau bisa melihat bagaimana orang akan berpikir aku tidak cukup baik, kan?"
"Tunggu sebentar, jika orang harus menjadi yang terbaik dalam sesuatu sebelum mereka melakukannya sebagai pekerjaan, bukankah itu akan membuatmu menjadi satu-satunya pelayan toko buku di seluruh dunia?"
Aku tidak bisa menahan senyum, karena aku juga memikirkan hal yang sama.
"Yah, bukan seperti itu yang seharusnya terjadi dalam pekerjaan, bukan? Ditambah lagi, aku adalah tipe orang yang bahkan tidak bisa menentukan buku favoritku."
"Jadi, apa itu berarti kamu tidak suka memiliki buku favorit?"
"Lebih tepatnya, aku punya favorit untuk semua hal. Seperti, untuk fiksi ilmiah perjalanan waktu, buku ini adalah favoritku dan untuk horor, buku ini... kira-kira seperti itu."
Ayase-san mengangguk-angguk mendengar penjelasanku.
"Hmm, ini lebih tentang menjadi unik daripada menjadi yang terbaik, kan?"
"Kurang lebih seperti itu, ya. Pada awalnya, aku mencoba membaca empat buku sehari, mencoba bersaing dengan diriku sendiri. Tapi membaca dengan cara itu sama sekali tidak menyenangkan. Ketika aku berhenti untuk memikirkan mengapa aku membaca, aku menyadari bahwa memaksa diriku untuk membaca bukanlah jawabannya."
"Lalu, bagaimana dengan sekarang?"
"Sekarang, ini bukan tentang berapa banyak buku yang telah kubaca, tapi bagaimana caraku membacanya. Aku hanya ingin membaca dengan cara yang sesuai dengan diriku sendiri, kau tahu?"
"Membaca dengan cara yang sesuai dengan diri sendiri, ya... itu adalah cara berpikir yang sangat 'Asamaru-kun'."
"Terima kasih. Sejujurnya, aku bahkan tidak ingat cara berpikir seperti itu pernah berguna. Jadi, kurasa itu hanya karena aku terlalu memanjakan diri sendiri."
Dia tersenyum seolah-olah mengatakan,
'Itu tidak benar' dan aku merasa hatiku menjadi lebih ringan.
Kalau dipikir-pikir, aku bahkan belum pernah menceritakan hal ini pada Maru...
"Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu, Ayase-san? Apa kau tidak punya 'sesuatu yang kau dapatkan hanya dengan melakukan hal-hal sehari-hari'?"
Ayase-san ragu-ragu sejenak sebelum membuka mulutnya.
Dia mengatakan bahwa dia pernah membaca sebuah artikel tentang seseorang yang menjadi seorang desainer setelah menyelesaikan program pascasarjana Universitas Wanita Tsukinomiya.
"Seorang desainer, ya?"
"Aku tidak pernah belajar desain, apalagi menggambar. Sejujurnya, aku tidak melakukan apa yang dilakukan wanita itu. Tapi, aku suka memikirkan kombinasi pakaian dan jenis pakaian yang cocok untuk setiap orang."
"Aku ingat kau pernah membantuku memilihkan pakaian."
"Aku pernah meminjam manga shoujo dari Maaya."
Eh? Topiknya berubah entah dari mana.
"Kau biasanya tidak membaca manga, kan?"
"Dia memaksaku untuk membacanya karena dia merekomendasikannya. Tokoh utama dalam manga itu adalah seorang selebriti. Tapi entah kenapa, dia tidak pernah memakai pakaian yang sama dua kali."
"Kedengarannya mahal."
"Kamu akan berpikir begitu, bukan? Tapi di situ juga disebutkan bahwa dia tidak punya banyak uang dan ketika aku terus membaca, aku menyadari sesuatu-dia hanya mengenakan pakaian yang sama dengan cara yang berbeda."
Mengingatku tidak punya harapan dalam hal fashion, aku bertanya pada Ayase-san apa yang dia maksud.
"Maaya menyuruhku untuk melihat lebih dekat pada perubahan pakaiannya. Ketika aku memikirkannya, setiap pakaian memang muncul di beberapa titik. Tetapi kombinasi atas dan bawahnya berbeda, atau mereka mungkin hanya mengganti kaus kaki atau detail kecil lainnya atau bahkan mengganti aksesori dan gaya rambut. Terkadang mereka menambahkan pakaian baru dan kamu bisa tahu, seperti, 'Ah, itu baru'."
"Itu luar biasa."
"Ya, menurutku itu juga sangat menakjubkan."
Ayase-san terdengar seperti anak kecil yang sedang membual tentang sebuah lelucon.
"Kamu mungkin tidak menyadarinya, Asamura-kun, tapi aku telah melakukan hal yang sama sejak aku pindah. Aku tidak pernah memakai kombinasi pakaian yang sama dua kali."
Dia benar, aku tidak menyadarinya.
"Oh, begitu. Itu sebabnya kupikir kau akan pandai memberikan saran fashion."
"Mm, aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya, tapi aku hanya berpikir itu akan menyenangkan."
Tetap saja, dia mengambil langkah kecil ke depan.
Aku ingin tahu apakah ada sesuatu yang secara alami aku kuasai yang belum kuketahui.
Akankah aku menemukannya selama 4 tahun di Universitas? Tidak, apa aku bisa lulus ujian masuk Universitas?
Semakin aku memikirkannya, semakin aku cemas akan masa depanku. Bahkan kepedasan kari pun tidak dapat mengangkat semangatku.
* * *
Aku merasakan rasa haus yang luar biasa mencengkeram tenggorokanku.
Mungkin karena aku terlalu lama menghabiskan waktu di kamar mandi sambil memikirkan masa depan?
Hari sudah malam. Ayahku sudah pulang, makan malam dan tidur. Piring-piring sudah dicuci, jadi aku bisa langsung tidur dan membaca atau tidur jika aku mau, tapi aku perlu minum.
Akau pergi ke dapur dan membuka lemari es.
Aku menuangkan teh jelai yang selalu kami sediakan ke dalam gelas. Hari masih belum cukup panas untuk meneguk teh jelai dingin. Aku menyeruputnya perlahan-lahan ketika Ayase-san berjalan melewati pintu lorong.
Dia melewatiku dan membuka kulkas untuk mengeluarkan teh barley. Dia pasti juga haus, kurasa.
Dia mencoba minum sambil berdiri, tapi dia pikir lebih baik duduk di sebelahku.
Pemandangan Ayase-san yang hanya mengenakan pakaian santai dengan kardigan di atasnya tidak biasa, karena dia biasanya berusaha untuk tidak menunjukkan kerentanan apa pun. Tetapi ada kemungkinan dia tidak tahu kalau aku sedang berada di dapur.
Namun, aku senang jarak di antara kami sudah semakin dekat, sampai-sampai dia tidak panik dan melarikan diri begitu melihatku.
"Kau bekerja keras sampai larut malam, ya"
Saat itu sudah lewat tengah malam.
"Iya..." Aku menatap wajahnya untuk mengetahui mengapa dia terdengar begitu murung.
"Ada apa? Kau kelihatannya sedikit murung."
"Studiku tidak berjalan dengan baik."
Ekspresi murungnya membuatku sedikit khawatir.
"Yah... Aku bukan orang yang suka bicara. Aku adalah siswa kelas tiga, namun konsentrasiku jauh lebih buruk dari sebelumnya."
"Kamu juga?"
"Cukup banyak."
"Begitu, ya."
Setelah percakapan singkat itu, kami berdua terdiam. Saat kami saling menatap, aku menyadari bahwa kami tidak banyak berbicara atau menyentuh satu sama lain hari ini.
Kami berdua perlahan-lahan mengulurkan tangan ke arah satu sama lain, tetapi tangan kami berhenti di tengah jalan, melayang di udara.
"Kita harus benar-benar tidur nyenyak, kan?"
"Iya... kamu benar."
Tangan yang tadinya saling mencari kehangatan satu sama lain perlahan-lahan menarik diri.
"Selamat malam, Asamura-kun."
"Ya, selamat malam, Ayase-san."
Dengan itu, kami berdua kembali ke kamar masing-masing.
Baru sehari sejak terakhir kali kami ceroboh, namun kami hampir tergelincir lagi-kali ini dengan kamar tidur orang tua kami yang hanya berjarak satu pintu. Rasanya seperti kami meminta untuk ditangkap. Tapi, pada kenyataannya, aku tidak memiliki rencana masa depan yang cukup baik untuk ditunjukkan kepada Akiko-san dan Ayahku.
Meskipun begitu, aku yang sekarang tidak bisa tidak mengejar bayangan Ayase-san di setiap kesempatan- Dengan pikiran yang berputar-putar, aku naik ke tempat tidur.
Aku berniat untuk membaca sedikit sebelum tidur, tapi tidak ada satu baris pun dari buku itu yang masuk ke dalam pikiranku. Jadi, aku dengan enggan menyerah dan memejamkan mata.
|1| Katsudon: Hidangan Jepang yang terbuat dari irisan daging babi goreng, telur, dan bawang bombay yang disajikan di atas semangkuk nasi. Chikuwa: Sejenis kue ikan Jepang yang terbuat dari pasta ikan dan tepung terigu, digunakan dalam berbagai hidangan seperti sup, semur dan tumisan.
|2| Hojicha: Teh hijau Jepang yang disangrai dengan rasa berasap dan berwarna coklat kemerahan. Teh ini mengandung lebih sedikit kafein, dan dapat diminum dalam keadaan panas atau dingin.
|3| Nikujaga adalah rebusan daging sapi, kentang, bawang bombay, dan kaldu kecap manis yang disajikan di atas nasi.
|4| Oden: Hotpot Jepang dengan telur rebus, kue ikan, daikon, konjak, dan tahu dalam kecap asin dan kaldu dashi. Chikuzenni: Rebusan tradisional Jepang dengan ayam, sayuran, dan jamur yang dimasak dalam kaldu berbumbu. Zoni: Sup Jepang dengan sayuran, mochi (kue beras), dan ayam atau ikan, yang secara tradisional dimakan selama liburan Tahun Baru.
Post a Comment