NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 3 Chapter 1

Chapter 1 - 22 Agustus (Sabtu)


Saat itu, di pagi hari pada hari Sabtu. Menjelang paruh kedua liburan musim panas. Di luar jendela, aku bisa mendengar suara jangkrik. Aku merenungkan hidup sambil makan telur dadar gulung dengan sumpitku. Umumnya, selama liburan musim panas, akhir pekan pada dasarnya menempatkan hari libur sekolah di atas hari libur lainnya, yang kemudian menciptakan perasaan seperti kau melewatkan sesuatu. Tidak bisakah kita mengambil semua hari Sabtu dalam interval istirahat musim panas 40 hari ini sebagai hari libur tambahan setelah akhir liburan ini?

Aku tidak berpikir itu permintaan yang besar untuk dibuat. Jika hari libur umum atau nasional jatuh pada hari Minggu, kami biasanya libur pada hari Senin, jadi secara teknis kami harus mendapatkan semua hari Sabtu yang terjadi selama liburan musim panas—atau jika itu terlalu banyak untuk ditanyakan, setidaknya hari Minggu—diubah menjadi liburan setelah liburan musim panas berakhir. Apa kau tidak setuju? Aku mempertimbangkan ide ini begitu banyak sehingga aku membawanya saat sarapan.

"Kau sudah memiliki satu bulan penuh liburan musim panas. Tapi, kau menginginkan lebih? Apa ada sesuatu yang ingin kau lakukan atau sesuatu?" Kata ayahku sedikit heran. Mendengar itu aku berhenti makan dan mulai berpikir.

"-Bukan itu."

"Lalu, apa?"

"Aku hanya merasa seperti membuang-buang waktu."

"Itu masa muda untukmu."

"Aku tidak berpikir usia ada hubungannya dengan ini."

"Begitu kau mencapai usiaku, kau tidak akan bisa memikirkan apa pun untuk dilakukan bahkan jika kau tiba-tiba mendapat hari libur."

"Woah, kau mengatakan itu di depan Akiko-san? Setidaknya buatlah terdengar seperti kau senang menghabiskan waktu bersamanya…"

"Fufu, kamu benar-benar perhatian, Yuuta-kun. Tidak seperti Taichi-san tertentu." Akiko-san berkomentar dari tempat duduknya di seberang ayahku saat dia mengambil sepotong telur dadar gulung.

Sejak ayahku dan dia menikah lagi dua bulan lalu, dia sekarang pada dasarnya adalah ibu tiriku. Dia bekerja sebagai bartender di sebuah bar, jadi dia kebanyakan bekerja di malam hari dan pulang larut malam. Sedangkan ayahku dia cuma karyawan kantoran. Jadi, dia berangkat lebih awal tetapi setidaknya dia tidak pulang larut malam. Meskipun mereka pengantin baru, jam kerja mereka sangat berbeda hal inilah yang membuat ayahku dan Akio-san jarang memiliki waktu bersama kecuali di akhir pekan atau hari libur. Saat aku melihat mereka berdua ngobrol seperi ini, aku diingatkan bahwa hari ini adalah akhir pekan.

"Tapi, kamu perlu memikirkan hal-hal semacam ini, Yuuta-kun."

"Hm, maksudnya?"

"Misalnya, hari ini mungkin hari Sabtu dan hari libur sekolah, tapi itu tidak jauh berbeda dari hari-hari lain yang kamu habiskan di liburan musim panas ini, kan?”

Aku mendapati diriku mengangguk mengikuti argumen Akiko-san. Seperti yang dia katakan, masa liburan yang panjang dan tidak ada sekolah menyebabkanmu kehilangan pemahaman tentang konsep hari dan semuanya menjadi kabur bersama. Terlebih lagi karena aku sudah menjalani gaya hidup seperti ini selama sebulan penuh sejak liburan musim panas dimulai pada bulan Juli.

"Tapi hari ini adalah hari Sabtu, bukan hari biasa, kan? Berarti kamu akan bekerjqa paruh waktu nanti, Yuuta-kun."

"Ya, aku memiliki shift penuh lagi hari ini. Jadi, aku harus keluar pada siang hari."

"Sangat mengagumkan. Jadi kamu akan bekerja dengan jadwal yang sama seperti kemarin, ya?"

"Iya."

"Karena hari ini sebenarnya hari Sabtu, kamu akan mendapatkan bonus liburan, yang menghasilkan bayaran lebih tinggi! Itu luar biasa!"

“Eh… eh?”

"Ini mungkin terasa seperti hari biasa. Tapi, kamu sebenarnya dibayar lebih banyak. Itu hal yang hebat. Apa kamu tidak setuju?"

"Yah, mungkin saja?"

"Jika hari ini bukan hari Sabtu, kamu tidak akan mendapatkan bonus ini. Saat kamu memikirkannya seperti itu, bukankah caramu menghabiskan liburan musim panas saat ini adalah yang terbaik?"

Setelah mendengar kata-kata Akiko-san, aku sedikit setuju dengannya. Meskipun logikanya terdengar sangat kontradiktif, itu jauh lebih mudah untuk dipercaya ketika kau menggabungkannya dengan suara alami Akiko-san yang sedikit berkepala dingin.

"Ya ampun. Asamura-kun, kamu ditipu." kata Ayase-san memotong pembicaraan, seolah-olah dia tidak tahan lagi setelah hanya mendengarkan dalam diam sampai sekarang.

"Benarkah?"

"Iya. Kalau kamu mengikuti logika itu, maka kamu juga bisa mengatakan bahwa kamu sudah bekerja penuh waktu dengan gaji yang sama sampai kemarin."

"Ahh… begitu."

Pada dasarnya, Ayase-san mengatakan bahwa hari kerja selama liburan musim panas bukanlah 'hari biasa', melainkan semua 'liburan'. Itu berarti aku tidak mendapatkan apa-apa dengan bekerja hari ini; sebaliknya aku kehilangan potensi pendapatan. Alasan kenapa aku dengan mudah setuju dengan logika Akiko-san adalah karena dia telah membutakanku dengan logika bahwa hari Sabtu selama liburan musim panas seperti hari 'normal', yang dia bicarakan pertama kali dalam percakapan, sehingga menciptakan konsep bahwa hari ini adalah 'normal' dalam pikiranku. Pemikiran seperti itu  adalah hal yang menakutkan.

"Hati-Hati. Ibu punya bakat menjadi penjual mobil bekas."

"Kejam sekali, Saki. Apakah itu sesuatu yang harus kamu katakan kepada ibumu sendiri?”

"Aku tahu, apa yang Ibu katakan karena aku putrimu. Membuat orang bingung bagi Ibu itu seperti sarapan pagi, kan?"

"Ahh, itu mengingatkanku. Tidak peduli seberapa sedih atau tertekannya aku, Akiko-san selalu tahu bagaimana menghiburku." Ayahku menambahkan komentarnya sendiri sepertinya dia mengingat sesuatu berkat apa yang Ayase-san katakan. Tapi, bukankah kau saja yang mudah ditipu?

Apakah itu sesuatu yang harus kau katakan dengan nada suara yang begitu bahagia dan gembira? .Lagi pula, wanita di depanku ini dikenal sebagai bartender dengan pengalaman paling banyak dari seluruh distrik bisnis Shibuya, jadi dia ahli dalam berurusan dengan pelanggan. Dia mungkin bisa membuat ayahku dan aku menari di telapak tangannya. 

"Dipaksa bekerja pada hari libur adalah cara berpikir yang sedikit menyedihkan. Tapi, selama aku ingat bahwa aku dibayar lebih hari ini, itu mungkin akan berdampak lebih baik pada kondisi mentalku, jadi aku akan pergi dengan itu." kataku. Akiko-san dengan lembut tersenyum dan mengulurkan tangannya yang ramping ke arahku.

"Yuuta-kun, apa kamu mau sup miso lagi?"

"Ya, tolong."

"Ah, biar aku saja. Lagipula, aku juga mau nambah." Ayase-san berdiri di depan Akiko-san dan mengambil mangkukku.

"Terima kasih."

"Sama-sama."

"Saki-chan, bisakah kamu memberiku satu porsi lagi saat kamu melakukannya?"

"Ah iya." Ayase-san menerima mangkuk ayahku dengan tangannya yang tidak memegang sendok.

Setelah itu, dia dengan lancar membawa mangkuk ke panci, menyalakan kompor dan mengaduk sup miso. Sebelum mulai mendidih, dia mematikan api lagi dan dengan hati-hati menuangkan sup ke dalam mangkuk.

"Terima kasih, Saki-chan."

"Ini bukan sesuatu yang istimewa, jadi jangan khawatir tentang itu. Ini, Asamura-kun."

"Terima kasih."

Ayase-san meletakkan mangkukku di depanku dan duduk di kursinya sendiri untuk memulai kembali sarapannya.

"Seperti biasa, sup miso buatan Saki-chan sangat enak!" kata ayahku tersenyum bahagia dengan mata berkaca-kaca.

Di akhir pekan, Akiko-san dan Ayase-san sama-sama bertanggung jawab untuk membuat sarapan, tapi sup miso adalah keahlian Ayase-san. 
Hari ini, itu adalah sup miso sederhana dengan daun bawang dan irisan tahu goreng. Tahu direhidrasi dalam sup dengan sempurna, membuatnya lembut dan kenyal, tekstur daun bawang membuatnya enak untuk dimakan.

"Ya, kau benar. Sup miso Ayase-san emang yang terbaik."

“…Terima kasih, Asamura-kun.” Ayase-san terdengar seperti ragu-ragu sejenak sebelum memberikan respon.

Setelah melihat ini, Akiko-san tersenyum. "Fufu, kalian berdua sudah cukup dekat."

"Yup, mereka benar-benar sangat dekat."

Ayahku dan Akiko-san saling memandang, tersenyum puas. Aku merasa lega melihat mereka seperti itu. Kalau dipikir-pikir saat aku masih kecil, aku selalu mendengar keributan yang disebabkan oleh ayahku dan ibuku. Tentu saja, hal itu membuatku tidak nafsu makan. Tapi...  sekarang aku praktis dipaksa untuk menonton pasangan suami istri yang mesra bertukar kata-kata kasih sayang tanpa akhir.

Tentu saja, diejek dan merasa sedikit tidak nyaman tentang itu semua adalah wajar, tapi itu lebih baik daripada mereka menahan diri. Ayase-san tampaknya sering terganggu olehnya, tapi fakta bahwa dia tidak pergi menunjukkan bahwa dia memiliki perasaan yang sama denganku.

"Tapi, kalian berdua masih memanggil satu sama lain dengan nama keluargamu, ya?" kata ayahku.

Akiko-san juga melirik Ayase-san.

"Apa kalian masih malu untuk memanggil satu sama lain dengan nama depan? Saki, kamu bisa memangginya 'Yuuta-niisan' tahu."

Ya, aku sedikit setuju dengan perkataan Akiko-san. Kurasa inlah yang kau sebut perbedaan dalam pengalaman. Aku tidak bisa membayangkan Ayase-san memanggilku 'Onii-chaaan~' dengan suara manis, tapi 'Yuuta-niisan' terdengar masuk akal. Itu tidak terlalu berbeda dari 'Yuuta-san' dan itu akan membuat kami merasa lebih seperti saudara kandung... Meskipun itu tidak seperti diriku akan benar-benar tahu karena aku tidak memiliki dan tidak pernah memiliki adik perempuan yang asli/(nyata). Kupikir ini cukup masuk akal setidaknya. Namun, Ayase-san dengan tenang menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan.

"Bukannya aku malu, tapi rasanya tidak benar."

""Serius?""

"Yah, kamu benar. 'Asamura-kun' membuatnya sedikit lebih rumit."

"Rumit?" aku bingung dengan pilihan kata ayahku, jadi dia menjelaskannya.

"Sebelum kami mulai berkencan, Akiko-san memanggilku 'Asamura-san' di rumah seperti itu. Jadi, untuk Saki-chan 'Asamura-san' mengacu padaku sedangkan 'Asamura-kun' itu untukmu, Yuuta. Mungkin, itu membuatnya lebih mudah."

Aku bahkan tidak mendengar bagian kedua dari apa yang dia katakan. Aku hanya membeku dengan mulut terbuka karena terkejut. Aku bahkan tidak pernah memikirkannya. Lagipula, saat itu ayahku masih pelanggan dari tempat Akiko-san bekerja. Jadi, dia tidak bisa tiba-tiba memanggil ayahku 'Taichi-san'.

Di ruang publik, Jepang Modern menganggap penambahan 'san' setelah nama sebagai sesuatu yang cukup formal, tetapi terkadang menambahkan nama keluarga seseorang pun menjadi tak terhindarkan… Tunggu, tunggu.

"Tunggu, jadi saat itu kau memanggil Akiko-san…"

"Yup, aku memanggilnya 'Ayase-san.' Masuk akal, kan?"

"Butuh waktu cukup lama baginya untuk mulai menggunakan nama depanku, ya ampun."

"Hahaha, kau membuatku malu." kata ayahku dengan canggung menggaruk pipinya.

Gerakan yang hanya bisa kau gambarkan sebagai contoh masa remaja yang terlambat ini bahkan membuatku merasa malu. Ah, bagus, aku dipaksa untuk menonton pasangan pengantin baru menggoda hal pertama di pagi hari. Tapi, kurasa ini hanya untuk menunjukkan betapa bahagianya mereka. Saat aku mengangkat kepalaku dan melirik ke arah Ayase-san, dia membuat sedikit ekspresi bermasalah, tapi segera kembali memakan sarapannya.

Berkat itu, aku berhasil mendapatkan kembali ketenanganku juga. Terima kasih, Ayase-san.

* * *

Setelah kami selesai sarapan, aku menyeduh kopi dan meletakkan cangkir di depan semua orang. Karena sarapan sudah selesai dan aku tidak membantu apapun. Kupikir aku setidaknya bisa melakukan hal seperti ini. Ayahku dan Ayase-san lebih suka kopi hitam. Sedangkan Akiko-san lebih suka di tambah sedikit susu. Jadi, aku menuangkan sedikit ke dalam teko krim kecil dan menawarkannya padanya.

"Terima kasih, Yuuta-kun."

"Sama-sama."

Di sisi lain, aku akan pergi ke mana pun suasana hatiku membawaku, jadi aku cukup acak dalam hal preferensi. Untuk kopi, aku biasanya bergantian antara Brazil Santos dan Blue Mountain. Ayahku pernah mendengar di suatu tempat bahwa baunya bisa membantumu fokus, jadi dia membeli banyak. Kupikir itu tepat sebelum ujian tambahan Ayase-san. Karena kami masih memiliki satu ton yang tersisa. Aku mengambilnya beberapa untuk di seduh. Berkat itu, aku entah bagaimana bisa menyelesaikan pekerjaan rumah musim panasku dengan cepat. Mungkin itu karena waktu yang kumiliki di pekerjaan paruh waktuku atau karena kopi tersebut.

"Tetap saja, aku tidak pernah mengira kamu akan mulai bekerja di pekerjaan paruh waktu Yuuta-kun, Saki."

"Berapa kali kita harus membahas itu, Bu?"

"Maksudku, aku tidak pernah membayangkan hal seperti itu."

"Ini pertama kalinya aku bekerja paruh waktu. Jadi, kupikir jauh lebih mudah jika aku bekerja dengan seseorang yang dekat denganku, apalagi kalau orang itu memiliki pengalaman. Selain itu, aku juga menyukai buku dan aku ingin membantu nilai sastra modern-ku juga, jadi ini kesempatan yang bagus."

Pertukaran seperti ini mungkin sudah terjadi setidaknya tiga atau empat kali sejak awal liburan musim panas. Akiko-san masih agak bingung dengan itu. Tapi untuk Ayase-san, mungkin lebih mudah menjawabnya daripada pertanyaan di ujian tambahan yang dia dapatkan sebelum istirahat.

Tentu saja, aku terkejut mendengar Ayase-san ingin bekerja paruh waktu di toko buku, yang menggabungkan pekerjaan fisik dengan gaji yang tidak terlalu tinggi, mengingat sebelumnya dia sangat bersikeras untuk mencari pekerjaan dengan bayaran tinggi dengan sedikit usah dan waktu yang dibutuhkan. Dia juga tampaknya tidak terlalu menyukai buku sepertiku, meskipun aku tidak berusaha menjadi penjaga gerbang di sini atau apa pun.

Itu sebabnya, aku meragukan penglihatanku saat aku melihat Ayase-san di toko buku pada hari itu. Sampai saat itu, dia tidak pernah mengatakan apapun tentang itu. Saat itu, aku sangat penasaran ingin menanyakan hal itu kepdanya. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja. Jadi, aku harus menahan rasa ingin tahuku sampai shiftku selesai. Lagipula, itu hanya membuang-buang energi bagiku, karena dia memberi tahuku setelah aku sampai dirumah. Saat aku bertanya kenapa dia tidak memberi tahuku sebelumnya, jawabannya sangat sederhana.

"Akan memalukan jika mereka tidak menerimaku setelah aku melamar."

Itu bukan plot twist yang menarik seperti dalam drama. Memang benar gagal dalam wawancara kerja itu memalukan, jadi aku bisa mengerti apa yang dia raskan. Sambil menyeruput kopi di depanku, aku teringat kembali ucapan Ayase-san pada malam itu. Dia dengan santai memberitahuku 'Mulai besok, kita akan menjadi rekan kerja, Asamura-kun'.

"Apa kalian berdua yakin ingin bekerja sepanjang liburan musim panas?"

"Jangan khawatir. Aku masih menghadiri kelas musim panasku. Aku bisa menjaga diriku dengan baik, oke?"

Setelah kau berada di tahun kedua di SMA, kau harus segera mulai fokus pada ujian masuk universitasmu. Terutama di sekolah kami, SMA Suisei. Itu adalah sekolah yang sangat dihormati, jadi kebanyakan orang—selain temanku Maru Tomokazu yang menghabiskan liburan musim panasnya dengan kegiatan klub—umumnya fokus pada ujian tiruan atau kursus musim panas. Sebagai catatan tambahan, Ayase-san tidak menghadiri kursus musim panas tersebut.

Karena kursus semacam itu biasanya ditawarkan oleh sekolah yang terkenal, tentu saja sekolah yang memungut biaya, mereka harus meminta uang kepada keluarganya untuk menghadirinya. Ayahku mengatakan bahwa dia tidak keberatan membayarnya. Tapi, karena sifat Ayase-san yang keras kepala, dia menolaknya. Lagipula, dia berencana untuk masuk ke universitas terkenal dengan usahanya sendir tanpa menerima bantuan apapun dari orang lain dan aku sangat menghormati keputusannya itu.

"Kursus musim panas? Ahh, aku tidak terlalu peduli tentang itu.” kata ayahku, berdasarkan kepercayaan (atau begitulah yang kuyakini) dan sama sekali mengabaikan kerja kerasku.

Sebaliknya, dia menyuarakan keprihatinan yang sama sekali berbeda.

"Maksudku, kau dan Saki-chan tidak menunjukkan tanda-tanda pergi ke mana pun untuk liburan musim panasmu."

“Itu yang kau maksud?”

Baik Ayase-san maupun aku cukup sibuk sepanjang hari. Jadi, bisa berkumpul bersama keluarga seperti ini adalah momen langka bahkan selama liburan musim panas. Karena itu, aku tidak berharap ayahku mengabaikan topik studi sama sekali dan tiba-tiba bertindak serius tentang hal seperti itu.

"Ini sangat penting. Saat kau tumbuh dewasa, kau akan semakin sulit menemukan waktu untuk benar-benar menikmati diri sendiri. Tidak ada waktu seperti hadiah bagi kalian berdua untuk menghabiskan waktu muda yang penuh cinta dengan teman-teman."

"Mmhmm. Entah kenapa, aku merasa seperti kau sudah mengalami banyak hal."

"Dalam kasus kami, ini adalah cinta antara orang dewasa. Ada perbedaan."

Atau begitulah katanya. Tapi, saat aku melihat pasangan di depanku, aku bertanya-tanya apa sebenarnya perbedaannya. Tapi itu akan menjadi pertanyaan filosofis yang berlebihan saat ini. Mungkin semua orang di dunia hanya berasumsi bahwa siapa pun yang mengatakan sesuatu terlebih dahulu adalah benar.

"Sebagai siswa SMA, bukankah kau seharusnya ingin melakukan banyak hal? Seperti, pergi ke festival musim panas, melihat pantai atau semacamnya dan membuat banyak kenangan?"

"Sebagai orang dewasa, bukankah kau seharusnya mengingatkan putramu agar tidak terlalu bersenang-senang? Lagipula, aku juga menikmati waktu yang kuhabiskan di tempat kerja. Jadi, tidak semua pekerjaan itu membosankan." Aku menjawab dengan nada lelah.

Ayahku menggelengkan kepalanya sebagai tanggapan. "Kerja ya kerja. Kau tidak bisa membandingkannya dengan perjalanan atau sesuatu seperti itu, bukan?"

"Yah, kau tidak salah ..."

Maksudku, dari sudut pandang orang dewasa, bekerja paruh waktu di suatu tempat masih seperti bermain-main, kan? Orang dewasa suka membicarakan hal-hal dengan nuansa seperti itu, kan? Rupanya hal seperti itu tidak dapat dikatakan dari ayahku.

"Begitu kau berada di tahun ketiga (kelas 3), kau akan sibuk dengan ujian masuk. Jadi, bersenang-senanglah selagi ada kesempatan."

"Memang. Aku khawatir Saki hanya melihat hidupnya berlalu begitu saja."

Baik ayahku maupun Akiko-san mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka dengan cara yang sangat berbeda dari yang biasanya kau harapkan dari orang tua. Sekali lagi aku diingatkan bahwa keduanya sebenarnya sangat mirip satu sama lain.

"Selain itu, temanmu mungkin kesepian kalau kau tidak memberi mereka perhatian.”

Teman, ya? Saat ayahku mengatakan ini, orang pertama yang muncul di benakku adalah pria berotot dengan kacamata.

"Lagian, aku tidak punya banyak teman dan beberapa orang yang kukenal, mereka sibuk dengan kegiatan klubnya masing-masing.." dalam hati aku tersenyum masam saat menjawab pertanyaan ayahku.

Temanku, Maru Tomokazu adalah pemain tahun kedua sepertiku dan peserta reguler klub baseball. Bahkan selama liburan musim panas, tidak ada hari tanpa latihan. Sebaliknya, ada kamp pelatihan, latihan permainan di berbagai prefektur dan semacamnya. Bahkan jika aku punya waktu untuk hang out, dia pasti terlalu sibuk.

'ku senang dengan adanya libur panjang! Itu memungkinkanku untuk berlatih lebih banyak dibandingkan hari-hari di sekolah!' Dia memberitahuku sambil tersenyum, jadi mungkin begitulah dia menjadi pemain regular. Sambil memikirkan apa yang dikatakan Maru, aku melirik ke arah Ayase-san.

“Berbeda denganku, sepertinya teman-teman Ayase-san mungkin mengundangnya bermain.”

“Tidak ada rencana.” Dia dengan blak-blakan menyangkal asumsi apapun yang mungkin kumiliki.

Satu-satunya teman Ayase-san yang aku tahu adalah Narasaka Maaya, tapi tidak seperti Maru, aku belum pernah mendengar apapun tentang dia berada di klub. Belum lagi dia biasanya sangat peduli dengan orang lain, jadi kupikir, mengetahui seberapa dekat dia dengan Ayase-san, dia tidak akan membiarkan liburan musim panas ini berlalu tanpa mengundangnya ke suatu tempat. Karena Ayase-san telah menyangkal hal semacam itu, aku tidak bisa menanyakan detailnya dan terpaksa menghentikan topik pembicaraan.

Setelah pembicaraan itu berakhir, aku pergi ke kamarku bersiap untuk pergi ke pekerjaan paruh waktuku. Tapi, sebelum aku bisa keluar tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Dan, saat aku membukanya, Ayase-san berdiri di sana.

"Kalau kamu penasaran tentang Maaya, gak usah khawatir. Kami tidak memiliki rencana untuk pergi keluar selama liburan musim panas. Aku cuma mau ngasih tahu itu saja."

Aku kehilangan kata-kata. Dia begitu blak-blakan tentang hal itu sehingga aku bertanya-tanya sejenak. Apakah aku telah merusak suasana hatinya.

“Tunggu, Ayase-san.”

"…Apa?"

Saat Ayase-san hendak kembali ke kamarnya, secara refleks aku memanggilnya. Tapi, aku bahkan tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan benar, tapi aku merasa ada sesuatu yang salah dan sikapnya barusan terasa berbahaya. Aku cukup yakin dengan intuisiku. Oleh karena itu, aku tidak bisa membiarkan masalah ini begitu saja atau aku akan terus memikirkan hal itu. Semua kesalahpahaman harus diselesaikan secepat mungkin.

Setelah menghabiskan tiga bulan terakhir ini dengan Ayase-san, aku sekarang agak mengerti bagaimana dia berpikir dan bagaimana dia menghargai waktunya. Jadi, aku bisa melihat bagaimana dia tidak ingin menghabiskan waktu dengan teman-temannya di luar sekolah, terutama selama liburan. Meski begitu, dia bahkan tidak akan berinteraksi dengan orang asing—juga tidak sepenuhnya benar. Dia membawa Narasaka-san bersamanya sepulang sekolah dan kami bermain game bersama, Narasaka-san mengajarinya di sini dan dia bahkan membantu membuat makan malam. Ketika kau melihat jarak yang tiba-tiba dibuat oleh keduanya, sepertinya mereka sedang bertengkar atau semacamnya.

"Maaf."

"Huh?" Aku segera mengangkat kepalaku, pikiranku terputus sebelum aku bisa mengatakan sesuatu.

Dengan ekspresi yang agak bermasalah, Ayase-san terus berbicara.

"Aku tidak marah atau dalam suasana hati yang buruk, oke? Maaf jika aku membuatmu khawatir. Tapi, Maaya dan aku sangat jarang pergi jalan-jalan."

"Bukankah dia datang beberapa kali?"

"Itu karena dia tertarik untuk mengetahui orang seperti apa kamu itu. Lain kali aku mengundangnya adalah karena dia pandai menjaga orang lain, kan?"

Oh, ya. Narasaka-san bilang dia punya adik laki-laki. Berbeda dengan Ayase-san dan aku, yang sama-sama anak tunggal. Sejak kecil dia diajari  bagaimana memperhatikan orang lain dan masalah mereka.

"Lagipula, baik kamu maupun aku mengundang yang lain, uumnya tidak akan terjadi apa-apa."

“Ahh, baiklah. Aku mengerti. Aku sendiri bukan tipe orang yang benar-benar bergaul dengan orang lain.”

"Apa kamu lebih suka tinggal sendiri?"

"Yah, lebih baik dibandingkan pergi keluar, kurasa."

Aku akan mengatakan babwa aku cukup pandai menghibur diri sendiri. Aku bisa menghabiskan waktu sendiri selama yang kunginkan dan aku tidak merasa itu membosankan atau sia-sia. Jika ada, menghabiskan waktu bersama orang lain bisa sangat melelahkan bagiku. Saat aku masih kecil, ibuku selalu dalam suasana hati yang buruk, jadi aku selalu berhati-hati untuk tidak membuatnya marah secara tidak perlu ketika aku di rumah. Itu selalu membuatku merasa lelah dan tegang. Bagiku, rumah bukanlah tempat di mana aku bisa merasa nyaman. Mungkin itu sebabnya aku mengembangkan tipe kepribadian kutu buku yang tertutup ini. Bukannya aku baik-baik saja sendiri. Lebih dari itu, menyendiri hanya membuat segalanya lebih mudah bagiku.

"Mnm, begitu. Kalau begitu, aku anggap topik ini sudah selesai, oke?"

"Ya." jawabku.

"Baiklah, aku juga harus siap-siap untuk bekerja. Oh, aku akan mengambil jalan memutar dalam perjalanan ke sana, jadi aku mungkin akan pergi lebih awal."

"Aku mengerti." aku mengangguk, tetapi rasa tidak nyamanku tidak hilang.

Aku tidak ingin berpikir bahwa dia berbohong, tetapi sesuatu tentang apa yang dikatakan Ayase-san terdengar aneh. Setelah dia pergi dan kembali ke kamarnya sendiri, aku terus merenungkan perasaan aneh yang menggangguku ini dan aku menyadari satu hal. Kenapa Ayase-san sampai repot-repot datang ke kamarku hanya untuk menegaskan bahwa dia tidak punya rencana untuk pergi keluar dengan Narasaka-san selama liburan musim panas?

Aku melangkah keluar rumah sedikit sebelum tengah hari. Shiftku untuk hari itu akan berlangsung dari sore hingga malam hari. Setelah memarkir sepeda di sudut tempat parkir, aku memeriksa waktu. Aku menyadari bahwa aku masih punya waktu sekitar tiga puluh menit sampai shiftku dimulai.

"Kurasa aku akan menghabiskan waktuku disini."

Aku memutuskan untuk menghabiskan sedikit waktu di dalam toko, jadi aku masuk melalui pintu masuk pelanggan biasa. Tepat di dalam toko, aku melihat rilis baru dan buku-buku populer di rak dan di pajangan depan. Ini mungkin lokasi yang paling menarik perhatian dari seluruh toko buku, tetapi karena itu, selalu ada sedikit perjuangan untuk mendapatkan apa pun di sana tergantung pada waktunya. Saat ini, seorang pegawai yang kuduga berusia 40-an memberikan pandangan baru sebelum dia berjalan menuju sudut dengan majalah olahraga.

Meskipun aku tidak punya banyak waktu, selalu ada baiknya untuk melihat apa yang baru. Karena hanya ada satu pintu masuk ke toko, kasir berada di dekat pintu masuk. Masuk akal, tentu saja. Bagi orang-orang yang telah menyelesaikan pembayaran, hal terpenting adalah segera pindah ke lokasi lain dan berjalan-jalan di dalam toko.

Kalau kau berjalan melewati sudut ini dengan barang-barang baru dan populer, melewati beberapa rak buku, kau akan mencapai area dengan buku-buku yang tidak benar-benar terjual saat ini. Semua orang tahu kau harus meletakkan buku-buku populer di tempat di mana orang bisa menemukannya dengan mudah. Di setiap toko buku, ada aturan tertentu tentang bagaimana kau menempatkan buku di toko.
Meskipum aku hanya diajari sedikit tentang toko oleh seorang senior di tempat kerja, itu sangat masuk akal bagiku. Oh ya, ini mengingatkanku kembali saat aku pertama kali mulai bekerja di sini.

'Yomiuri-senpai, bukankah toko buku sering mengubah tampilannya?'

Setiap satu atau dua kali dalam setahun, toko buku akan mengubah lokasi tempat perilisan yang sedang populer, yang membuatku bingung. Bahkan toko yang lebih besar sepertinya tidak bisa menempatkannya di tempat yang sama. Aku tidak bisa membayangkan perpustakaan melakukan itu.

'Itu sangat merepotkan, kan? Tidak tahu dimana letak buku itu.' aku mengemukakan sesuatu yang harus dirasakan oleh setiap pelanggan toko buku biasa setidaknya sekali dalam hidup mereka.

'Yup, itu sebabnya.' Yomiuri-senpai malah memberikan jawaban yang membingungkan.

'Apa?'

'Kami melakukan ini justru karena kamu ingat di mana letak buku itu.'

'Apa maksudmu?'

'Singkatnya, agar kamu bisa mengingatnya. Manusia sebenarnya tidak mengingat detail kecil meskipun mengingat gambaran yang lebih besar. Apa kamu ingat buku apa yang ada di sini sebelumnya?' tanya senpai, mengetuk salah satu sudut rak buku tempat dia berdiri di sebelahnya.

Sepertinya, buku-buku yang ada di sudut ini terjual baru-baru ini. Karena aku melihat beberapa celah kosong di sana. Tapi, karena ini adalah sudut novel ringan, aku cukup sering datang ke sini, namun aku masih tidak dapat mengingat dengan tepat buku apa yang ada di lokasi ini sebelumnya.

'Ini jawabanmu ...'

Dia menunjukkan sampul buku yang baru saja kami terima hari ini. Itu adalah buku yang cukup terkenal dan penulis novel tersebut terkenal dari cerita pendeknya. Tentu saja, aku sudah membaca beberapa buku mereka sebelumnya dan ketika aku melihat sekeliling rak buku, aku seharusnya menyadari bahwa rak itu diisi dengan buku-buku dari penulis yang sama. Meskipun itu bukan bagian dari sequelnya.

'Ah, itu ya?'

'Tapi, saat kamu melihat rak buku, kamu tidak berpikir ada yang berbeda dari biasanya, kan?'

'Itu benar.'

'Faktanya, kamu tidak ingat apa yang ada di dalam rak. Namun, otakmu berpikir bahwa rak itu sama seperti sebelumnya. Itulah cara berpikir manusia. Jadi, jika mereka tidak menyadari ada  sesuatu yang salah atau berbeda, perhatian mereka akan menurun.'

Aku hanya bisa mengerang saat Senpai mengatakan itu. Meskipun dia menggunakanku sebagai contoh, aku masih bisa mengatakan bahwa apa yang Senpai katakan masuk akal. Tentu saja, aku tidak melewatkan senyum tipisnya di akhir. Dia mungkin terlihat seperti wanita Jepang yang cantik. Tapi, itu hanya penampilan luarnya saja. Setidaknya itulah yang sudah kupikirkan saat itu.

'Jadi, itu sebabnya kita melakukannya?'

'Yup, itulah alasan kami melakukan semua itu. Kalau tidak ada perubahan, kamu bisa berbelanja tanpa harus melihat-lihat. Sebenarnya, kami menghancurkan kenyataan itu, mengubah lokasi rak buku dan semacamnya dari waktu ke waktu. Kemudian kamu harus berjalan-jalan sebentar mencoba menemukan apa yang kamu cari dan kamu akan lebih memperhatikan sekelilingmu. Berbeda dengan perpustakaan, kami secara aktif mencoba menjual buku di sini. Jika kita hanya menempatkan rilisan baru dan populer pada tampilan khusus, buku yang lain praktis tidak berguna. Karena kebanyakan orang hanya melihat buku yang mereka cari tanpa melihat buku di sekitarnya. Toko buku tidak bisa bertahan lama jika kita tidak melakukan itu. Aku tahu toko buku yang menghilang seiring waktu karena rak mereka pada dasarnya membusuk di tempatnya!'

'Terima kasih banyak atas penjelasan filosofis dan mendalamnya, Senpai.'

'Aku cukup keren, kan?'

'Kau seperti orang tua dan keriput dari RPG.'

'Hmph, itu tidak terdengar keren sama sekali.' Dia cemberut.

Sambil memikirkan apa yang Senpai katakan saat itu, aku mengalihkan pandangan dari deretan barang baru dan melihat ke bagian dalam toko. Toko buku cukup banyak memamerkan pengetahuan manusia. Selain itu, rilisan baru mencerminkan arus informasi dunia saat ini untuk generasi saat ini. Aku bisa merasakannya di kulitku hanya dengan melihat judul dan sampul. Jujur saja, ini cara yang bagus untuk menghabiskan waktu.

Aku melewati pajangan dan mulai berkeliling di dalam toko. Aku memeriksa terbitan baru, menelusuri jilidan buku-buku di rak. Ketika aku melakukan ini, aku dapat memeriksa bagaimana keadaan toko dan aku bisa membantu pelanggan dengan lebih baik setelah shift-ku benar-benar dimulai. Setelah beberapa menit berlalu, aku mulai berpikir untuk mengaganti seragam kerjaku. Tapi ....tiba-tiba seseorang menepuk bahuku.

"Yo, Kouhai-kun."

Saat aku berbalik, Yomiuri-senpai berdiri di sana dengan pakaian kasual.

“Senpai, jangan mengejutkanku seperti itu. Aku hampir terkena serangan jantung.”

"Apa kamu selalu memiliki hati yang rapuh?"

"Mungkin tidak terlihat seperti itu, tapi aku punya."

"Kalau kamu menunjukkannya kepadaku, aku mungkin akan bersedia mempercayaimu."

"Kalau kau bisa mengembalikannya ke tempatnya, aku tidak keberatan menunjukkannya kepadamu."

Setelah mendengar jawabanku, Senpai tersenyum bahagia.

"Emang kamu siapa, Shakespeare? Bahkan aku tahu kalau kamu tidak bisa mengambil hatimul tanpa menumpahkan darah. Kurasa aku harus mempercayaimu tanpa bukti."

"Aku menghargainya."

Hari ini, Yomiuri-senpai mengenakan jeans denim slim-fit dengan blus tanpa lengan, rambut panjangnya diikat ke belakang dengan gaya twintail. Pakaian pilihannya terlihat nyaman dan santai, bahkan terlihat sangat cocok dengannya.

"Lalu, bukankah kamu datang lebih awal?"

"Bukankah kau juga, Senpai."

Bukankah jam kerjanya sama sepertiku dan Ayase-san?

"Aku bosan dirumah mulu. Lagian di sini ada A/C. Jadi, kupikir aku akan memeriksa toko sebelum memulai shift-ku."

"Apa kau benar-benar bosan dirumah?"

"Itulah artinya menjadi seorang mahasiswa."

"Bagaimana dengan seminarmu, circlemu dan penelitianmu?"

"Ahhhh, aku tidak bisa mendengarmuuuuu, tidak bisa mendengarmu sama sekali."

"Jangan bereaksi seperti siswa sekolah dasar. Berapa usiamu?"

"Ingat pepatah 'Lebih baik terlalu besar daripada terlalu kecil', Kouhai-kun?"

"Logikamu itu membuatmu terdengar seperti siswa sekolah menengah."

"Tidak peduli berapa tua aku tumbuh, apa yang ada di dalam tidak akan berubah."

"Kau mencoba terdengar pintar, tapi ini hanya upaya setengah matang untuk menghindari pertanyaanku tentang dirimu yang malas, kan?"

“Kamu akan mengerti bagaimana perasaanku setelah kamu masuk Universitas, Kouhai-kun. Mahasiswa universitas tidak sedewasa yang kalian pikirkan siswa SMA." Yomiuri-senpai mencoba berbicara sendiri sambil tersenyum.

Kredibilitasnya saat mengatakan itu berbeda dari sebelumnya.

"Ngomong-ngomong, di mana adik kecilmu?"

"Entahlah? Apa dia belum datang? Dia meninggalkan rumah sebelum aku. Jadi, kurasa seharusnya dia sudah ada di sini."

Bahkan selama sebulan terakhir ini, Ayase-san dan aku tidak pernah pergi ke pekerjaan paruh waktu bersama. Dia mengatakan sesuatu tentang bagaimana kita harus menarik garis seperti yang kita lakukan di sekolah dan aku setuju. Bukannya hal buruk akan terjadi jika toko mengetahui bahwa kami bersaudara dan karena Ayase-san sudah menyerahkan lamaran pekerjaannya. Aku cukup yakin manajer toko sudah tahu bahwa kami bersaudara. Dia hanya tidak menyebarkan informasi ini kepada karyawan lain dari apa yang kutahu.

Selain itu, aku biasanya bepergian ke sini dengan sepeda, sedangkan Ayase-san berjalan, jadi aku harus memperlambat dan dia harus mempercepat untuk mengimbangi satu sama lain jika kita ingin datang ke sini bersama dan dan juga Ayase-san atau aku menikmati bentuk pertimbangan yang mencolok seperti ini.

"Tetap saja, aku tidak pernah berpikir kalau adikmu mau bekerja di sini~ Eh, ada apa dengan wajah itu?"

"Yah ... aku baru saja melakukan percakapan serupa di rumah."

Kenapa semua orang berpikir itu mengejutkan jika Ayase-san bekerja paruh waktu di toko buku? Saat aku menanyakan pertanyaan ini pada Yomiuri-senpai, dia memikirkannya sejenak.

"Bukan hal yang langka melihat seseorang bekerja paruh waktu di toko buku. Namun, itu juga berlaku bagi siswa SMA yang cuma ingin bermain-main. Adikmu rajin dan serius dengan pekerjaannya sepertimu, Kouhai-kun."

"Mungkin… Btw, Senpai, apa kau punya rencana selama liburan musim panas ini?"

"Hmmm? Aku? Tentu saja. Aku akan mengenakan baju renang yang menggoda dan meminta orang-orang bermain denganku di pantai."

Dia mengatakan ini sambil membusungkan dadanya dengan percaya diri. Apa kau benar-benae harus menyombongkannya? Belum lagi baju renang yang monggoda? Baju renang seperti apa itu? Yah, dari sudut pandang objektif, Yomiuri-senpai cukup cantik dan menawan. Kalau saja dia sikapnya tenang. Dia akan terlihat seperti contoh sempurna dari kecantikan Jepang, (Yamato Nadeshiko) terutama dengan rambut hitam panjangnya yang memikat. Lagipula, di dalam dirinya itu seoarang lelaki tua.

“Laut, ya?”

"Ada apa dengan wajah bermasalah itu?"

“Yah… aku hanya bisa membayangkannya sebagai tempat berdesak-desakan.”

Kau harus berenang di lepas pantai Honshuu untuk menghindari keramaian. Belum lagi bagi seorang introvert sepertiku, pergi ke pantai yang ramai agak terlalu berat untuk ditangani.

"Aku pergi ke sana bukan untuk berenang. Jadi, tidak apa-apa."

"Jadi? Kau pergi ke sana hanya untuk di dekati?"

"Ya, begitulah."

"Apa di dekati adalah hal yang bagus?"

"Eh.. Tapi, berkat itu aku bisa makan gratis."

"Huh, kau bahkan tidak terlihat miskin, Senpai .."

Maksudku, aku tahu gaji dari bekerja di toko buku kecil. Pada dasarnya, toko buku tidak benar-benar memiliki margin keuntungan yang bagus, jadi gajinya bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan. Bahkan kalau kau itu karyawan tetap. Apalagi kalau kau hanya seorang pekerja paruh waktu.

"Ya ampun, apa kamu tidak menyukai taktik mendapatkan makanan gratis ini?"

"Bukan itu, aku hanya tidak suka ide membuat hutang dengan orang lain. Selain itu, terus-menerus diperlakukan seperti itu pada dasarnya sama dengan mengakui kalau kau tidak punya uang, yang meninggalkan rasa pahit."

Aku suka menjalani hidupku dengan prinsip memberi & menerima. Jadi, selalu diberi gratisan atau hanya menerima kebaikan orang lain, tidak cocok denganku. Tidak ada yang lebih mahal dari sesuatu yang gratis. Belum lagi makanan yang kubeli dengan uang yang kuperoleh rasanya sepuluh kali lebih nikmat.

"Yah, itu sangat mirip denganmu, Kouhai-kun. Tapi aku menawarkan mereka penampilan baju renang seksi dari gadis universitas yang cantik. Jadi, ini bukan berarti aku makan gratis, kan?"

"Seksi…? Kau sudah terdengar seperti orang tua. Apa kau yakin penampilan itu belum layu?"

"Jadi, kamu menyebutku gadis universitas yang membosankan?"

"Aku tidak pernah mengatakan itu."

Aku hanya memikirkannya, itu saja..

"Aku tahu apa yang kamu pikirkan!"

"Maafkan aku."

“Ngomong-ngomong,” Senpai meletakkan jari telunjuknya di bibirnya dan tersenyum seperti kucing yang menggoda. "Semua yang aku katakan barusan itu bohong."

"…Semuanya?"

"Ya, semuanya."

"Jadi, apa maksud dari kebohongan itu?"

"Tidak ada makna yang lebih dalam untuk itu!" kata Yomiuri-senpai.

Mengesampikan kata-kata senpai, saat aku melihat ke arah Yomiuri-senpai yang sekarang mengetahui bahwa itu semua bohong, aku mungkin seharusnya melihatnya dari awal. Aku merenungkan kesalahanku. Lagipula, lengannya yang terlihat dari balik blus tanpa lengan tidak menunjukkan tanda-tanda kulitnya yang kecoklatan atau terbakar sinar matahari. Kulitnya masih mulus dan seputih salju seperti biasanya.

"Yup, lupakan saja lelucon tadi. Kita mungkin harus berganti seragam sekarang."

Kami berjalan ke area belakang toko buku dan berpisah. Aku berganti pakaian di ruang ganti pria yang kosong, mengenakan seragamku. Tepat saat aku melangkah keluar untuk menuju ke kantor, Yomiuri-senpai dan Ayase-san melangkah keluar dari ruang ganti wanita. Sepertinya dia sangat tepat waktu.

Dia mengenakan celemek yang sama di atas seragamnya seperti Senpai. Tidak seperti di sekolah atau di rumah, dia sekarang mengikat rambutnya yang panjang dengan pita, mungkin untuk membantunya bekerja lebih efisien. Rambut pirangnya yang berkilauan yang di ikat dengan gaya ponytail sangat cocok dengannya. Kesenjangan antara seragam karyawan dan gaya rambutnya membuatnya menonjol di toko dan mataku kadang-kadang mengarah ke arahnya.

Rasanya mata kami bertemu sesaat. Namun, ini hanya berlangsung sesaat dan dia mengalihkan pandangannya lagi. Ini tidak baik. Aku harus terbiasa dengan ini. Atau begitulah yang kukatakan pada diri sendiri saat aku memperbaiki postur tubuhku. Aku ragu Ayase-san menyukainya saat aku meliriknya.

Toko itu cukup ramai. Mungkin karena ini hari Sabtu, tapi mungkin sebagian besar karena sekarang sedang liburan musim panas. Meski begitu, ada rentang waktu singkat ketika antrian pelanggan mereda. Kurasa itu sekitar jam 3 sore. Setelah menyelesaikan pembelian di kasir, Ayase-san dengan sopan mengucapkan "Terima kasih banyak!" kepada pelanggan saat mereka meninggalkan toko. Karena tidak ada lagi orang yang mengantri di depan, Ayase-san, Yomiuri-senpai dan aku semua berbaris di belakang kasir, menghela nafas lega.

"Kamu hebat Ayase-san! Padahal kamu baru bekerja di sini!"

"Begitu?"

"Ya. Saat Kouhai-kun melamar di sini, aku berpikir bahwa aku akan memiliki junior yang pintar. Tapi, kamu mungkin lebih hebat darinya ...."

Nada suaranya terdengar seperti dia serius. Secara pribadi, aku harus setuju. Semua yang dia lakukan sempurna, mulai dari berurusan dengan kasir hingga membantu pelanggan. Aku bahkan tidak perlu turun tangan dan membantunya. Belum lagi bahwa ini sudah terjadi sekitar seminggu setelah dia mulai bekerja di sini. Dia sudah mengingat semua detail kecil tentang pekerjaan ini, menyesuaikan diri lebih cepat berbeda denganku saat aku mulai bekerja di sini.

Ah, aku baru ingat.. Yomiuri-senpai memanggil Ayase-san 'Adik kecil' saat hanya ada kita berdua. Tapi, ketika dia berbicara langsung dengannya. Terutama di dalam toko, dia juga memanggilnya 'Ayase-san' dari waktu ke waktu. Hal-hal semacam ini membuatnya tampak sangat dewasa. Secara mental, tentu saja, bukan secara fisik.

"Terima kasih banyak." Ayase-san membalas dengan senyuman hangat.

Baru-baru ini dia bertindak lebih datar dan dingin di rumah. Jadi, melihat dia tersenyum seperti itu terasa menyegarkan. Oh, dia juga pernah memberikan semyum palsu padaku saat pertama kali kami bertemu di restoran keluarga.

"Tapi, ini karena kamu mengajariku dengan baik, Senpai.."

"Ehh, bisa aja kamu ini, Ayase-san~! Tanggapanmu itu benar-benar menunjukkan betapa menakjubkannya dirimu."

"Tidak, tidak. Itu beneran, kok ..."

"Um…"

"Ah, iya!"

Saat mereka berdua asik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara dari sisi lain kasir. Mendengar sumber suara itu, Ayase-san berbalik menyapa mereka dengan senyum ramah. Pelanggan yang memanggil mereka adalah seorang wanita tua. Sepertinya dia sedang mencari manga.

"Haruskah aku mengurus mesin kasir?"

"Tolong." Ayase-san mengangguk dan melangkah keluar menghampiri pelanggan tersebut.

Kupikir dia akan segera kembali, tapi setelah sekitar sepuluh menit, Ayase-san tidak menunjukkan tanda-tanda dia akan kembali. Sementara itu, di sini banyak pelanggan mengantri di depan kasir. Membuatku tidak memiliki kesempatan untuk mencarinya. Meski Ayase-san suka membaca buku.. dia tidak pernah membaca manga apapun. Jadi, mungkin dia tersesat saat mencoba membantu pelanggan.

"Serahkan mesin kasir padaku. Bantulah dia ." Senpai pasti melihat ekspresi khawatirku dan membiarkanku pergi.

Aku menyerahkan sisanya pada senpai dan melangkah keluar ke toko utama. Saat aku berjalan menuju bagian manga, aku langsung melihat Ayase-san berjalan di sepanjang rak buku dengan pelanggan di belakangnya.

"Apa semuanya baik-baik saja, Ayase-san?"

"Asamura- san..." Ayase-san berbalik dengan ekspresi bermasalah di wajahnya.

Setelah mendengarkan penjelasan Ayase-san. Sepertinya wanita tua itu sedang mencari manga untuk cucunya. Yah, singkatnya wanita tua itu sendiri tidak tahu banyak tentang manga dilihat dari ekspresinya yang agak bingung. Katanya dia sedang mencari rilisan baru dari terbitan bulan ini. Kebetulan manga yang dia cari baru saja mendapatkan pengumuman adaptasi animenya dan itu cukup populer bisa dilihat dari penjualan yang cukup bagus. Mengingat berapa banyak salinan yang kami dapatkan dari seri populer, aku tidak bisa membayangkan itu akan terjual habis. Tapi Ayase-san tidak bisa menemukannya.

"Dilihat dari penerbitnya, itu seharusnya ada di rak ini ..."

"Apa kau sudah memeriksanya?" Aku melirik ke mesin di sudut toko buku.

Kita seharusnya bisa mengetahui apakah itu masih tersedia berkat fungsi mesin pencarian.

"Seharusnya kita masih memiliki lima salinan, tapi ..."

"Itu tidak ada di layar depan, kan?"

"Tidak, aku sudah memeriksanya."

Setelah memastikan situasinya berkat masukan Ayase-san, aku mulai berpikir. Sungguh aneh tidak dapat menemukan manga itu meskipun baru saja dirilis. Kami memiliki salinannya yang tersisa meskipun betapa populernya itu juga. Namun, karena tidak ada dalam tampilan item populer, aku terpaksa melihat melalui sampul di rak. Rak ini dipenuhi dari atas hingga bawah dengan manga dari label penerbitan itu. Turun ke garis penulis dengan prinsip A I U E O, aku melihat seri lama mereka. Bukan rilisan terbaru, sepertinya yang kami taruh di rak sudah habis terjual.

"Bukan di sini…"

"Ya. Aku tahu itu seharusnya ada di sini, tapi…"

"Itu artinya… Hmm, mungkin di sini…"

Aku mendorong buku-buku yang tergeletak rata di layar di bawah rak ke samping. Saat itu manga lain yang sama sekali berbeda muncul. Itu adalah rilisan baru yang kami cari.

"Ah!"

"Di sini. Ini, kan?"

Di toko buku, pelanggan sering mengambil buku dari rak untuk dilihat. Tapi, tidak dikembalikan ke tempat semula. Ini adalah contoh lain dari itu. Jika buku itu disimpan secara acak di tempat lain, buku itu mungkin akan lebih menonjol dan dengan demikian lebih mudah bagi Ayase-san untuk menemukannya. Tapi, karena mereka meletakkan manga lain di atas manga yang kami cari, secara tidak sengaja itu menyembunyikan manga ini. Jumlah salinannya juga cocok dengan nomor mesin yang kami cari, di sana terdapat tulisan stok yang artinya itu masih tersedia.

"Luar biasa…! Bagaimana kamu tahu?"

"Yah… kurasa itu berkat intuisiku? Lebih penting lagi, pelanggan sedang menunggu."

"Ah, ya. Um ... apa ini yang Anda cari?" Ayase-san menoleh ke arah pelanggan, menanyakan apakah itu yang dia cari.

"Ya, benar."

"Oke! Apa cuma ini yang Anda inginkan?"

Wanita itu mengangguk sebagai tanggapan dan kami mengantarnya ke kasir untuk menyelesaikan pembayaran. Wanita itu tampak sangat senang karena berhasil menemukan apa yang dia cari dan dia dengan erat memeluk manga dan mengobrol sedikit, lalu pergi. Melihatnya pergi, Ayase-san dan aku menghela nafas lega.

"Syukurlah, akhirnya kita bisa menemukannya. Btw, kenapa kamu bisa langsung tahu? Ini hampir seperti semacam kekuatan super."

“Tidak, sebenarnya bukan itu.”

Di kartu yang dipajang, tertulis 'Rilis 2 Agustus!', tapi label pada buku di atas tumpukan itu adalah label yang biasanya tidak boleh dirilis pada hari itu. Pada dasarnya buku itu seharusnya tidak ada di tumpukan itu sejak awal, yang menonjol bagiku.

"Aku tidak tahu…"

Aku tidak menyalahkan Ayase-san karena tidak terbiasa dengan rilisan manga. Berbeda denganku, dia tidak secara teratur memeriksa rilisan terbaru.

"Sulit untuk memperhatikan hal-hal semacam itu kalau kau tidak merasakannya. Aku hanya punya sedikit pengalaman, itu saja."

~Jika manusia tidak berpikir ada sesuatu yang salah atau berbeda, perhatian mereka berkurang.

Kata-kata yang pernah Senpai katakan kepdaku dulu sekarang kembali ke pikiranku. Saat otakmu berpikir 'tidak ada' maka matamu juga tidak akan mencarinya.

"Meski begitu, kupikir itu sangat menakjubkan."

“Aku yakin Yomiuri-senpai akan menemukannya lebih cepat.”

Yomiuri-senpai telah bergantian dengan kami dan sekarang berpatroli di dalam toko. Sambil memikirkannya, Ayase-san menggumamkan 'Begitu' acuh tak acuh dan berdiri di belakang mesin kasir lagi. Semakin banyak pelanggan muncul untuk membeli sesuatu, jadi semuanya menjadi sibuk kembali.

Aku bisa melihat bulan mulai terbit di antara celah gedung-gedung. Ada sekitar sepuluh hari tersisa di bulan Agustus. Jadi, angin masih terasa hangat dan sedikit sisa panas mulai naik dari aspal. Waktu hari semakin cepat mendekati jam 10 malam dan sebenarnya sudah lima belas menit sejak shift saya berakhir. Seorang siswa sekolah menengah hanya diperbolehkan bekerja sampai jam 10 malam, tetapi pada dasarnya kami diizinkan untuk pergi pada jam 21:50 sebagai gantinya. Meski begitu, berganti pakaian dan mengucapkan selamat tinggal membutuhkan waktu sepuluh menit penuh.

Ayase-san dan aku pergi bersama, berjalan berdampingan. Karena kami berdua memilih untuk tidak terlalu memperhatikan satu sama lain, kami berdua baik-baik saja dengan berangkat kerja pada waktu yang berbeda. Tapi, saat dalam perjalan pulang dari pekerjaan paruh waktu kami berdua pulang bersama. Ini adalah permintaan dari Akiko-san sebagai ganti dia mengizinkan Ayase-san bekerja paruh waktu. Dia meminta kami untuk pulang bersama ketika shift kami berakhir terlambat. Dia tidak ingin putrinya pulang sendirian di kota besar seperti Shibuya. Hal ini menunjukkan betapa Akiko-san sangat menyayangi putrinya.

Awalnya, Ayase-san menentangnya. Dia berpendapat bahwa meminta kakak laki-lakinya bertindak sebgai pengawalnya terlalu berlebihan. Selain itu, Ayase-san pernah pergi sendirian ke bar tempat ibunya bekerja dan dia baik-baik saja. Tapi, pernah ada kejadian dimana siswa di sekolahnya melihat Ayase-san dan dia menyebarkan desas-desus buruk tentang Ayase-san. Siswa itu menyebarkan rumor bahwa Ayase-san terlibat dalam semacam kesepakatan kencan berbayar. Tapi, sebenarnya dia hanya salah paham tentang hal tersebut. Faktanya Ayase-san hanya menemui Ibunya. Itu menjelaskan banyak hal.

Dan mungkin ada alasan lain kenapa Ayase-san awalnya mencoba menolak ide agar aku mengikutinya. Karena aku bepergian dengan sepeda dalam perjalanan ke tempat kerja kami, aku bisa pulang lebih cepat. Jadi dia tidak ingin memperlambatku. Jika posisi kita terbalik, aku mungkin akan merasakan hal yang sama. Karena Ayase-san lebih suka memberi daripada menerima, dia tidak mau menerima kondisi ini.

Meski begitu, dia akhirnya setuju. Dia tidak ingin membebani ibunya dengan hal yang tidak penting karena ibunya sudah sibuk dengan pekerjaannya. Sejujurnya, aku sendiri merasa lega dalam hal itu. Bahkan jika dia sendiri mengatakan dia baik-baik saja, aku benar-benar tidak ingin Ayase-san berjalan di jalanan malam Shibuya sendirian. Satu kali saja sudah cukup, tapi karena kami bekerja hampir setiap hari, pasti ada masalah yang akan terjadi.

Saat aku membahas itu, Ayase-san dengan acuh tak acuh berkata 'Kurasa kamu benar'. Setelah melalui ini beberapa kali, kami sudah terbiasa pulang bersama. Aku menyeka keringat di pipiku, berharap itu akan segera dingin.

"Ini musim panas yang panas, ya?"

“Jadi ini sudah musim gugur, ya…?”

“Eh?”

"Apa?"

Kami berdua berhenti berjalan. Ayase-san memberiku ekspresi bingung dan aku memberinya reaksi yang sama bingungnya. Setelah Ayase-san memperhatikan wajahku dengan cermat, dia mengangguk lemah.

"Apa kamu berbicara tentang panas?"

"Ya. Bagaimana denganmu?”

"Itu...." Ayase-san mengarahkan dagunya ke arah jendela toko... butik?

Aku bisa melihat manekin berdiri di balik jendela kaca.

"Itu seharusnya musim gugur?"

“Ini musim gugur, kan? Apa lagi yang akan terjadi?”

Kekecewaan Ayase-san sepertinya hanya tumbuh ketika dia melihat bahwa aku tetap bingung.

"Eh, apa kamu serius sekarang?"

"Maaf, aku tidak melihat perbedaan antara gaya pakaian pada manekin itu dan apa yang kau kenakan sekarang, Ayase-san."

Maksudku, aku tahu itu bukan pakaian musim panas berkat dia yang menunjukkannya. Lengannya juga sedikit lebih panjang… Kurasa? Tapi Ayase-san mengenakan jaket kotak-kotak di atas tanktop rajutannya, jadi…

"Bukan itu masalahnya di sini. Saat kamu melihat warna pakaian dan detail kecilnya, kamu bisa mengetahui apa yang sedang tren di musim gugur ini. Lagipula, kebanyakan manekin tidak lagi mengenakan pakaian musim panas."

"Begitu?"

"Apa kamu pikir aku bercanda…"

"Ah, tidak, aku tidak meragukanmu atau semacamnya. Aku yakin kau benar. Jadi, tolong jangan memasang wajah seperti sedang bertemu zombie atau Santa di tengah kota."

"Secara pribadi, aku merasa telah menemukan sesuatu yang lebih langka dari itu. Aku bahkan tidak akan terkejut melihat zombie atau Santa pada saat ini."

"Bukankah itu sangat kejam ..."

Dia memperlakukanku seperti penghuni Area 51 atau SCP. Mungkin kesadaranku sangat sempit sehingga aku bahkan tidak ingat apa yang dikenakan manekin di rute harianku.

"Asamura-kun, apa kamu tipe orang yang tidak begitu tertarik dengan fashion?"

"Apa kau pernah melihatku membaca majalah fashion?"

Kalau aku punya uang untuk dibelanjakan untuk pakaian, aku lebih suka membelanjakannya untuk buku. Ayase-san mengangguk, sepertinya mengikuti alasanku.

"Begitu, ya. Kurasa kamu benar-benar tidak menyadarinya sama sekali."

"Sepertinya begitu."

"Yah, kurasa tidak masalah kalau kamu bekerja paruh waktu bukan karena pakaian.."

"… Hm? Apa maksudmu?"

"Jangan pedulikan aku~" Ayase-san mulai berjalan di depan.

Aku tidak tahu persis apa yang baru saja dia bicarakan. Tapi, aku terus mendorong sepedaku dan mengikutinya. Untuk beberapa alasan, sejak saat itu suasana hati Ayase-san tampak lebih baik dibandingkan percakapan kami sebelumnya.




|| Previous || Next Chapter ||
13 comments

13 comments

  • Pecinta Pisang Bakar
    Pecinta Pisang Bakar
    29/7/21 12:02
    Namanya cewe, makhluk buminyang paling sulit dimengerti
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    26/7/21 17:14
    Sama sekali gk ngerti apa yg ada di pikiran saki :v
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    23/7/21 13:03
    Bangke, pikirannya Saki benar2 susah dicerna
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    23/7/21 12:39
    Semangat min
    Reply
  • Nama
    Nama
    23/7/21 11:19
    up
    Reply
  • Adii
    Adii
    23/7/21 09:56
    Sedang menunggu buku harian saki, hanya itu yg bisa menjelaskan chapter rumit ini
    • Adii
      fahiraxxx
      23/7/21 13:15
      Gw punya diary saki yg b.indo dan yah di diary nya saki udah mulai ada rasa2 suka ama mc
    • Adii
      fahiraxxx
      23/7/21 13:16
      This comment has been removed by a blog administrator.
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    23/7/21 06:56
    Smangat min
    Reply
  • Oniscorn
    Oniscorn
    23/7/21 06:05
    Makasih min
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    22/7/21 21:14
    Hmm.. bau-bau mulai cemburu nich!
    Reply
  • YeGuLou
    YeGuLou
    22/7/21 20:19
    Di chapter ini gw sama sekali kgk ngrti pikirannya si saki njir😂
    • YeGuLou
      Anonymous
      23/7/21 11:06
      Sama jer
    Reply
close