Penerjemah: Ikaruga Jo
Proffreader: Ikaruga Jo
Chapter 4 - Bagian 6 [Tersesat]
Begitulah, saat aku dan Yua berjalan di jalan yang diapit kios-kios di kiri dan kanan, mencari toko yang bagus.
Dari kerumunan orang yang kepalanya hanya terlihat bergerak-gerak, terdengar suara seperti tangisan seseorang.
Dengan hati-hati aku mengarahkan pandangan ke arah suara itu, dan terlihat seorang gadis kecil berdiri.
Dia sepertinya masih SD kelas rendah, memakai yukata bergambar karakter yang tidak kuketahui.
Mungkin dia tersesat. Dengan keramaian seperti ini, dia pasti terpisah dari orang tuanya. Kelihatannya dia tidak punya smartphone, jadi tidak bisa menghubungi orang tuanya.
Karena aku menyadarinya, pasti pengunjung lain juga menyadari gadis itu menangis, tapi aliran kerumunan tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti. Paling-paling, mereka hanya menghindar agar tidak menabrak gadis itu.
Mungkin di zaman sekarang ini, orang ragu untuk menyapa.
Cerita tentang seseorang yang niatnya baik membantu mencari orang tua yang tersesat, tapi malah dianggap sebagai orang yang mencurigakan karena membawa anak itu, pasti terlintas di pikiran, sehingga orang jadi ragu untuk berbuat kebaikan.
Atau, mungkin mereka berpikir karena gadis itu menangis begitu keras, orang tuanya akan menyadarinya dan segera datang membantu.
Bagaimanapun, tidak ada seorang pun yang mencoba berbicara dengan gadis itu.
Aku sedang bersama Yua untuk urusan penting.
Kalau aku mengurus anak tersesat, waktunya akan habis dan aku harus bergabung dengan Ousaki dan yang lainnya tanpa mencapai tujuanku.
Jadi, pilihan yang harus kuambil adalah—
"Ada apa? Ayah atau ibumu di mana?"
Aku berbicara pada gadis yang sepertinya tersesat itu.
Sepertinya aku lemah terhadap gadis kecil yang menangis, teringat pada Tsugumi saat baru datang ke rumah Nagumo. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Tapi, begitulah aku, yang dikenal sebagai otaku paling parah di sekolah.
Gadis itu menangis semakin kencang.
Aku berpikir, kalau saja aku cowok populer, tinggi, dan keren, aku pasti bisa membuatnya tidak menangis. Tapi itu bukan aku, kan. Itu orang lain.
Namun, popular-guy terkuat di sekolah yang ada di sampingku, berjongkok di depan gadis itu.
"Jangan-jangan, kamu terpisah ya? Kalau begitu, kakak akan bantu mencarinya, ya."
"...Iya."
Saat Yua berbicara, gadis itu langsung berhenti menangis.
Memang, anak perempuan seharusnya berteman dengan anak perempuan juga, ya.
Aku hampir merasa terpuruk sampai mengalihkan kenyataan dengan ucapan seperti pecinta yuri sejati.
Yua yang sedang berjongkok, menggenggam tangan gadis itu untuk menenangkannya, lalu mendongak menatapku, matanya berbinar.
"Aku sudah menduga Shinji tidak akan mengabaikannya dan pasti akan menolong."
Seolah itu hal yang terjadi padanya sendiri, ekspresi Yua dipenuhi kebahagiaan.
"Waaaah! Salahku karena aku ini akuuuu!" Little Shinji yang menangis pilu di otakku pun langsung berhenti menangis.
Memang, anak laki-laki juga ingin berteman dengan anak perempuan.
"...Kakak, tidak apa-apa?"
Gadis yang tadinya menangis, kini menatapku seperti kakak perempuan yang lebih tua dan menggenggam tanganku dengan lembut.
Pasti dia menyadari keberadaan Little Shinji yang memalukan. Anak kecil bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat orang dewasa. Tapi kali ini aku berharap dia mengabaikannya. Malu, tahu.
"Shinji, syukurlah. Sekarang kamu bisa tenang, ya."
Di samping interaksi itu, Yua memalingkan wajahnya dariku dan sedikit gemetar.
Tidak perlu sampai tertawa begitu...
"Oke, kalau begitu kita cari!"
Untuk mengumpulkan semangat lagi, aku berusaha membangkitkan diriku.
Apakah yang kucari adalah orang tua gadis itu, atau diriku yang keren seperti yang kuinginkan, yang jelas tujuanku mencari jadi tidak jelas.
"...Ngomong-ngomong, Yua, kamu tertawa sampai menangis, ya?"
Yua yang berdiri, meneteskan air mata di sudut matanya. Ditambah lagi matanya agak merah.
"Eh? Ah, iya, iya, sedikit, soalnya lucu!"
Sambil berpikir, 'Kejam sekali', aku tidak berniat membalasnya, karena memang tidak heran kalau dia menertawakanku.
★
Kami berjalan dengan gadis itu di tengah, aku dan Yua berpegangan tangan di sisi kiri dan kanan.
Namun, kalau kami terus-menerus berkeliaran, akan sulit menemukan orang tua yang mungkin sedang mencarinya.
Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai 'Aki', tapi dia sepertinya pendiam dan tidak banyak bicara.
"Bagaimana kalau kita coba ke sana dulu?"
Yua menunjuk ke arah Kuil Utama di ujung halaman kuil. Di sekitar tangga kecil menuju kotak persembahan, hanya ada sedikit orang. Sepertinya mereka sedang beristirahat setelah lelah berjalan di keramaian.
"Oke juga. Ada tangga, jadi kita bisa melihat dari tempat yang agak tinggi, dan mungkin lebih mudah menemukan mereka."
Kalau kami berada di posisi lebih tinggi dari halaman kuil, orang tua Aki-chan juga akan lebih mudah menemukan kami.
Setelah pindah ke depan Kuil Utama, mungkin karena terlepas dari kerumunan orang, udara yang kuhirup terasa sangat segar meskipun ini musim panas.
Ngomong-ngomong, melihat dari tempat tinggi, orang-orang benar-benar terlihat seperti sampah.
"Aki-chan, mau permen drop?"
"Mau."
Aki-chan mengangguk, lalu memasukkan permen drop berwarna pink cantik pemberian Yua ke mulutnya.
Di sampingku yang berpikir hal-hal jahat, pemandangan yang begitu manis terhampar, dan aku merasa diriku seperti sampah.
"Oh, iya."
Yua, yang kembali menemukan permen mint setelah mengocok kaleng permen drop, memasang wajah masam, lalu dengan gerakan alami menyerahkan permen itu padaku.
"Apa?"
Aku tidak membenci mint, jadi aku menerimanya.
"Kalau Shinji menggendong Aki-chan di pundak, tidakkah akan lebih mudah ditemukan? Aku juga bisa melakukannya, tapi Shinji lebih tinggi."
"...Tidak masalah sih. Asal Aki-chan setuju."
Meskipun gadis kecil, dia perempuan, dan memakai yukata. Kalau Tsugumi yang kerabatku sih lain, tapi anak orang asing... ah, jangan-jangan kalau aku terlalu memikirkannya malah jadi masalah ya.
Aku mengalihkan pandangan ke Aki-chan yang sedang memutar permen drop di mulutnya.
"Boleh."
Bersamaan dengan jawabannya, Aki-chan berpose banzai.
Aku, yang merasa tertantang, berjongkok di depan Aki-chan. Aku akan membayangkan diriku sebagai naga yang terbang di langit, bukan sebagai manusia. Naga yang menggendong seorang gadis di punggungnya... Dengan begini, aku tidak akan merasa melecehkan. Tolong jangan bilang, 'Lebih cepat dari apa pun,' ya.
Sambil melontarkan balasan kecil, 'Lebih ringan dari Yuachan,' aku menggendong Aki-chan di pundak.
"Bagaimana? Kelihatan ada orang yang mirip ayah atau ibumu?"
Begitu aku bertanya pada Aki-chan, Yua mengeluarkan suara "Ah..." seolah dia menyadari sesuatu.
Saat aku bertanya-tanya ada apa, kakiku merasakan sebuah benturan.
Sosok yang tiba-tiba melompat masuk telah melancarkan tendangan rendah padaku.
Aku menundukkan pandangan dan melihat seorang anak laki-laki yang terlihat kurang ajar, seumuran SD kelas atas, menatapku penuh permusuhan.
"Apa polisi zaman sekarang bisa berubah wujud jadi anak laki-laki SD...?" pikirku dalam kebingungan.
"Kembalikan! Kembalikan Aki!"
Dari ucapan si anak, aku mengerti.
"Kakak!" kata Aki-chan. Dugaan ku benar.
Aku, yang masih menggendong Aki-chan di pundak, mencoba menasihati si anak laki-laki kurang ajar yang melancarkan low kick padaku dengan lembut.
"Aku ini orang baik yang melindungi adikmu. Sebelum kau melampiaskan kemarahanmu pada penyelamatmu ini, marahlah pada dirimu sendiri yang tidak becus sampai adikmu yang berharga itu menangis tersedu-sedu..."
"Kenapa kamu serius banget sih sama anak kecil?" Yua menyikutku pelan.
Seharusnya aku tidak salah bicara, tapi sepertinya aku sudah melakukan kesalahan.
Aku membungkuk perlahan agar tidak menjatuhkan Aki-chan. Setelah turun dariku, Aki-chan menghampiri kakaknya.
Keduanya bertemu kembali dan berpelukan karena saking senangnya... tidak sampai se-emosional itu sih, tapi mereka menggenggam tangan erat-erat.
"Jangan lepaskan lagi tangannya." Aku kira si anak laki-laki akan marah, tapi ternyata tidak ada niat begitu, jadi aku lega.
"Penculik sialan!"
Jangan melampiaskan kemarahanmu padaku! Kalau ditanya dengan gaya Inoki, "Kau marah pada siapa?", sepertinya dia akan langsung menjawab aku. Aku tidak bisa membiarkan dia berpikir begitu... aku harus membuat dia tahu bahwa aku tidak bersalah.
"Aki-chan terus menangis di jalan itu. Sepertinya dia terpisah, jadi aku dan Shinji bantu mencarinya." Yua berkata menggantikanku.
"Begitu ya... Aku kira dia pergi ke mana, jadi aku cari di tempat lain..." Si anak laki-laki terlihat malu. Kenapa dia bersikap begitu sopan pada Yua?
Rupanya, si anak laki-laki itu mati-matian mencari adiknya di tempat yang jauh, bukan di tempat mereka terpisah.
"Orang tua kalian tidak ikut?" Yua bertanya, dan si anak laki-laki menjawab.
"Keduanya bilang hari ini sibuk... Padahal sudah janji dari dulu, tapi katanya ada pekerjaan... Tiba-tiba tidak bisa datang. Makanya, kami bilang akan pergi sendiri bawa Aki, dan sampai di sini."
Bagi orang dewasa yang bekerja, liburan musim panas itu hampir tidak ada. Pekerjaan bisa datang mendadak, dan janji yang sudah direncanakan jauh-jauh hari pun bisa saja tidak bisa ditepati.
"Memangnya kerjaan itu penting banget apa?! Selalu saja pergi ke kantor!" Si anak laki-laki itu cemberut. Dia pasti kesal karena orang tuanya memprioritaskan pekerjaan daripada mereka.
Tapi, anak kecil mana mengerti logika orang dewasa.
Dia pasti sangat menantikan acara penutup liburan musim panas yang menyenangkan itu. Tentu saja dia akan kesal jika janjinya dilanggar.
Dari gaya bicara si anak laki-laki, 'pergi ke kantor setiap hari dan memprioritaskannya daripada festival yang menyenangkan', ada indikasi dia salah paham mengerikan bahwa orang tuanya pergi bekerja karena itu menyenangkan.
Dalam pikiran anak laki-laki yang masih kecil itu, kantor dan sekolah mungkin adalah hal yang sama. Aku memang berbeda, tapi si anak laki-laki itu terlihat aktif dan tipe yang menonjol di kelas, jadi sekolah pasti seperti tempat bermain baginya.
"Ayah dan Ibu tidak sayang pada kami!"
Dibanding kakaknya, adiknya terlihat lebih penakut, dan karena suara kakaknya yang keras, dia mulai gemetar.
Dia terlihat seperti melampiaskan kemarahannya habis-habisan, dan aku berpikir, mungkin anak laki-laki ini adalah tipe yang banyak menahan diri di depan orang tuanya. Kalau dia biasa meluapkan kemarahan dan stresnya, Aki-chan pasti sudah kebal dan tidak akan gemetar seperti ini.
"Aku rasa tidak begitu," kataku, tidak tahan lagi dan memutuskan untuk membantu.
Aku memang tidak punya waktu untuk ikut campur urusan keluarga orang lain, tapi aku tahu betul dari Ayah bagaimana orang tua berjuang untuk menyeimbangkan pekerjaan dan anak-anak.
Meskipun orang tua si anak laki-laki tidak harus sama... karena aku sudah terlibat sejauh ini, tidak apa-apa kan kalau aku ikut bicara sedikit, berharap ini hanya kesalahpahaman si anak laki-laki.
"Kau juga, dan Aki-chan juga, yukata itu siapa yang memakaikannya?"
"Ini..." Si anak laki-laki menunduk, seolah memeriksa pakaiannya sendiri.
Aki-chan juga memakai yukata, dan kakaknya ini memakai yukata motif ichimatsu.
"Ayah atau ibumu, pokoknya orang tuamu yang membatalkan acara festival karena ada pekerjaan, kan? Sepertinya kalian tidak bisa memakainya sendiri dengan benar."
Meskipun terpisah, berbeda dengan Aki-chan yang terus berdiri di tempat, si anak laki-laki yang mondar-mandir mencari Aki-chan terlihat sangat berantakan. Meskipun terbuka seperti yukata habis bangun tidur, dia tidak mencoba merapikannya.
Meskipun jauh lebih mudah daripada memakai kimono, bagi anak SD yang tidak terbiasa memakai yukata, sulit sekali untuk memakainya sendiri dengan benar.
Melihat penampilan Aki-chan, dia pasti tidak berantakan sebelum datang ke festival, dan sisi kiri yukatanya sudah benar di atas. Tali obi-nya juga diikat pita di depan tubuh, sedangkan pada anak laki-laki, ikatan pita itu ada di belakang tubuhnya.
Ini pasti hasil tangan orang dewasa yang mengerti cara memakai yukata.
"...Benar. Ibu yang pakaikan." Si anak laki-laki mengakui.
Ibu, ya...
Aku tidak ingat pernah dipakaikan yukata oleh ibuku.
Tapi, aku tidak boleh merasa terpuruk di sini. Lagipula, aku sudah menemukan titik terang.
Setidaknya, ibu si anak laki-laki ini pasti orang yang benar-benar memikirkan anak-anaknya. Hanya karena ibuku hanya memikirkan dirinya sendiri, bukan berarti ibu orang lain juga begitu.
"Bukankah ibumu, meskipun tidak bisa datang, ingin kalian bersenang-senang, makanya sampai memakaikan yukata dan mengantar kalian?"
"............"
Si anak laki-laki menatapku diam, dengan wajah terkejut.
"Orang tuamu itu, bukan pembohong, bukan juga tidak menyayangi kalian. Mereka terpaksa pergi kerja, dan sebenarnya ingin sekali ikut festival bersamamu." Aku berbicara seolah tahu segalanya.
Tentu saja, aku baru bertemu kakak beradik ini hari ini, dan aku tidak tahu lingkungan keluarga mereka seperti apa. Aku hanya membayangkan 'ibu' secara umum sesuai bayanganku, dan berpikir mungkin mereka akan melakukan hal ini.
Anehnya, gambaran ibu yang kubayangkan itu mirip dengan peran yang sering dimainkan Shinomiya Keika.
Padahal kenyataannya dia adalah kebalikannya.
Si anak laki-laki tidak membantah, dan tidak terlihat tidak puas.
Mungkin ibunya memang ibu yang lembut seperti yang kukatakan.
Perasaan lega bercampur iri yang rumit menyerbuku, tapi ini bukan saatnya untuk *dark mode*.
Tangan si anak laki-laki, yang tidak menggenggam tangan Aki-chan, gemetar.
Gawat. Aku tidak bermaksud mendebatnya sampai dia kalah... Dan kalau dia menangis, itu akan merepotkan. Anak kecil kadang menyerang dengan tangisan keras.
"Iya, Ayah juga, Ibu juga, mau ikut kok." Yang setuju denganku adalah Aki-chan, yang tadinya gemetar.
"Ayah sama Ibu juga minta maaf banget..." Aki-chan, berbeda dengan kakaknya, menunjukkan sikap yang lebih lapang dada terhadap orang tuanya. Anak perempuan di SD memang lebih cepat dewasa.
"Tapi Kakak saja yang terus-menerus cemberut." Aki-chan menatap kakaknya dengan pandangan menyalahkan.
"...Kau tidak kesal tidak bisa datang bersama Ayah dan Ibu?" Si anak laki-laki bertanya pada adiknya, meskipun sedikit tertekan oleh kegagahan adiknya.
"Tidak kesal kok. Soalnya..." Aki-chan menghadap kakaknya.
"Soalnya ada Kakak."
Aki-chan, yang menjelma menjadi malaikat agung yang berbicara lugas tanpa malu, menggenggam kedua tangan kakaknya sambil tersenyum polos.
Ini membuatku yang siscon parah nyaris menjadi penonton yang terus-menerus mengatakan 'Sangat berharga...', tapi aku urungkan karena itu menjijikkan. Gambar otaku yang menyeringai di belakang kakak beradik yang berharga itu rasanya seperti kejahatan...
"J-jangan ngomong menjijikkan begitu!"
Sungguh anak yang tidak tahu berterima kasih... aku merasa kesal, tapi dia tidak melepaskan genggaman tangan Aki-chan.
"Ayo, yukata-nya dirapikan. Harus tampil keren di depan adik perempuan yang manis, kan." Yua berjongkok di depan si anak laki-laki, dan dengan gerakan rapi, dia membetulkan yukata yang berantakan itu hingga terlihat cantik.
"............"
Meskipun yukata-nya sudah rapi, wajah si anak laki-laki memerah.
Ah, gawat. Ini ada kemungkinan dia jadi punya fetish aneh. Merasakan kesenangan saat yukata yang berantakan dirapikan oleh yukata gyaru itu terlalu niche dan tidak direkomendasikan.
"Ini buatmu." Yua kembali membagikan permen drop pada si anak laki-laki.
Dia benar-benar jadi Kakak Permen Drop sekarang.
"Baik-baik ya sama kakakmu." Dia juga memberi Aki-chan permen drop kedua.
"Shinji juga."
"Aku sudah tahu giliranku datang begitu permen mint muncul."
Aku, yang sudah jadi penanggung jawab permen mint, memasukkan permen mint ketiga ke mulut.
Setelah berhasil menyelesaikan masalah Aki-chan yang tersesat, kami menawarkan untuk menemani kakak beradik itu menonton kembang api demi keselamatan mereka. Namun, mereka pulang dengan alasan, 'Aki sudah mengantuk, dan kembang api bisa dilihat dari rumah. ...Lagipula Ayah dan Ibu juga sebentar lagi pulang.'
Yua terus menatap punggung mereka sampai keduanya menghilang dari pandangan kuil.
Aku baru menyadari, kepadatan orang di area kuil sudah berkurang.
Ini sudah hampir waktunya kembang api, jadi mereka pasti sudah mulai bergerak menuju area sungai.
"Shinji," Yua membuka mulutnya, suaranya lebih jelas karena suasana sudah lebih tenang.
Aku khawatir, jangan-jangan aku melakukan kesalahan? Apakah dia akan menyalahkanku karena bersikap kekanakan dan terlalu keras pada anak laki-laki itu?
"Shinji, kamu benar-benar beruntung, ya."
"...Kenapa?"
Yua terlihat aneh.
Padahal baru saja berhasil mempertemukan kakak beradik itu, tapi suasana hatinya terlalu muram.
"Aku, Shinji, tidak bisa berpikir sepertimu. Aku berpikir kalau orang tua kakak beradik itu juga hanya memikirkan pekerjaan, sama seperti orang tuaku."
Tampaknya, aku menginjak ranjau lain.
Meskipun pada akhirnya aku terlihat seperti orang yang percaya pada niat baik orang tua terhadap anak, sebenarnya aku juga sempat memikirkan hal yang sama seperti Yua.
Namun, aku bisa percaya bahwa orang tua kakak beradik itu benar-benar menyayangi anak-anak mereka karena aku punya Ayah.
Berkat Ayah, aku bisa percaya pada gambaran umum orang tua yang baik di masyarakat. Jadi, wajar saja jika Yua merasa sedih karena melihat perbedaan antara dirinya dan mereka.
"Mau bagaimana lagi, itu... tidak ada yang perlu membuatmu sedih, Yua."
Saat aku berbicara dengan kakak beradik itu, Yua terus diam. Mungkin karena dia merenungkan keadaannya sendiri dan jadi sedih.
"Sebenarnya, keluargaku dulu pernah baik-baik saja, lho... Waktu kami masih berempat."
Ketika Yua mulai berbicara seperti itu, tubuhku langsung menegang dan aku bersiap.
Aku tidak menyangka Yua akan memulai pembicaraan tentang hal yang selama ini aku cari waktu yang tepat untuk mengungkitnya.
"Maukah kamu mendengarkan ceritaku tentang saat aku punya kakak laki-laki?"
"Tentu saja." Aku tidak akan menolak.
Suara gemuruh terdengar, dan langit gelap tiba-tiba menjadi terang.
Sudah waktunya kembang api dinyalakan.
"Kembang apinya sudah mulai, ya," kata Yua sambil mendongak ke langit.
"Sambil jalan di pinggir sungai saja, ya?"
"Baiklah, begitu saja."
Kalau kami terus berdiri di kuil yang mulai sepi dan berbicara dengan serius, aku juga bisa ikut-ikutan menangis.
Mumpung Yua sudah mau bercerita, aku harus mendengarkan sampai selesai. Aku tidak ingin terbawa perasaan dan malah gagal di tengah jalan.
Aku dan Yua, sambil menatap langit yang dipenuhi kembang api, perlahan meninggalkan area kuil dan berjalan menuju pinggir sungai bersama pengunjung lain yang mulai beranjak.



Post a Comment