Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
Krisis Identitas Terungkap
────【Sudut Pandang Nord】
Sial……
Karena diminta oleh Meina-san dan Mari, aku akhirnya harus bertemu dengan Elise……
Aku hanya memakai bagian kepala dari baju zirah, melihat Elise dari balik celah visor sebagai "topeng besi".
"M-maaf…… bertemu dalam wujud seperti ini……"
"Ti-tidak, akulah yang memaksakan permintaan seperti ini……"
Apa-apaan, kenapa suasananya setegang acara perjodohan begini. Aku menahan tubuhku gemetar sambil berusaha keras supaya tidak terpeleset ke gaya bicara Nord…….
"Nord-sama, kalau tidak keberatan, bolehkah Anda memberitahu alasan mengapa Anda harus memakai topeng itu?"
"Ada keberatannya!"
"Eh!?"
Aku menjawab pertanyaan Elise dengan jelas: aku tidak mau menjelaskan alasannya……
Mendengar itu, dia berkeringat di pelipis dan hanya bisa mengeluarkan kata-kata terdesak.
"B-begitu ya……"
"Betul…… ya begitu."
Aku sudah susah payah bergerak diam-diam agar Elise tidak tahu identitasku, dan kalau ketahuan di sini, semua usahaku sia-sia.
"Kalau itu kutukan, biarkan aku yang menghapusnya! Kumohon, percayakan padaku."
"T-tidak perlu…… seluruh penyembuh, pengusir roh jahat, ahli sihir, tabib—semua sudah dipanggil, tapi tak ada yang berhasil."
"Setidaknya biarkan aku mencoba……"
"Sudah kubilang tidak perlu!"
Karena perhatian—atau lebih tepatnya, keras kepalanya—Elise, aku tak sengaja meninggikan suara. Saat aku sadar, semuanya sudah terlambat.
"Aneh? Aku merasa pernah mendengar suara yang mirip dengan Nord-sama. Selain itu, entah kenapa saat berbicara dengan Nord-sama, aku selalu teringat dengan orang yang pernah menolongku."
"Kalau begitu, kau pasti salah orang. Aku tidak pernah merasa pernah menolong Elise."
"Ah! Orang yang menolongku berbicara dengan cara seperti itu! Jangan-jangan……"
"Tidak ada alasan bagiku untuk menolongmu. Lagi pula aku seperti ini, jadi aku tidak pernah keluar ke kota."
"Kota? Kenapa Anda tahu? Aku tidak pernah bilang di mana aku ditolong……"
"A-a-a-aku cuma berpikir, kalau menolong seseorang ya kemungkinan besar di kota……"
"Begitu…… ya memang begitu sih……"
Elise menatapku dengan mata menyipit penuh curiga, namun akhirnya ia menghentikan penyelidikannya. Entah kenapa, dia malah mengalihkan topik.
"U-umm, Nord-sama. Nord-sama tentu akan masuk ke Akademi Pahlawan, kan?"
"Aku berencana mundur dari pendaftaran karena kutukan ini. Aku akan berdoa agar Elise masuk lima besar terkuat."
"Itu memalukan…… padahal aku ingin melihat sendiri kemampuan seseorang yang bahkan kakakku—yang menempati posisi pertama lima besar—sampai harus berguru padanya……"
Ugh…… menahan "Nord" keluar itu berat sekali.
Aku hanya menggeleng berkali-kali dengan sikap merendah dan tak menjawab apa pun.
Kalau aku bicara lebih banyak, Nord pasti bakal muncul dan mulai berkata: "Baiklah, lihatlah kemampuanku……" dan semuanya akan kacau.
"Kalau begitu, walau kau sudah jauh-jauh datang, aku ada urusan. Maaf, aku pamit dulu."
"Maaf sudah merepotkan Anda."
Aku berdiri dan hendak pergi, membelakangi Elise.
Saat itu—
【Penghapus Kutukan!】
Gawat!
Dalam sekejap, aku memiringkan kepala untuk menghindari sihir penghapus kutukan yang Elise lepaskan tanpa mantra. Di dinding, lingkaran sihir berwarna hijau neon muncul sebentar lalu menghilang.
"T-tidak mungkin…… sihir pemulihanku bisa dihindari……"
"Apa yang sedang kau lakukan?"
"Elise! Betapa kurang ajarnya kau! Cepat minta maaf pada Nord-sama!"
Bahkan Lotus sampai lupa sapaan akrabnya dan langsung memarahi Elise.
"Aku minta maaf karena berani menguji Nord-sama. Tapi berkat itu aku yakin sekarang. Aku ingin menjadi murid Nord-sama."
"Ditolak!"
"Kenapa!?"
"Aku tidak akan mengambil murid yang suka menguji kemampuan orang lain."
"Kakakku diuji juga waktu itu?"
"Aku—bukan. Saya adalah guru Lotus. Menguji murid itu wajar."
"Kalau begitu, ujilah aku juga."
"Aku sudah tahu dari tadi. Kemampuanmu hebat dan tak ada lagi yang bisa aku ajarkan padamu."
"Aduh Nord-sama suka bercanda. Kemampuanku itu biasa saja kok."
"Aku tak bisa berbohong karena kutukan topeng besi ini."
"Baiklah, hari ini aku pulang dulu. Tapi bukan berarti aku menyerah! Aku pasti akan menghapus kutukan topeng Nord-sama!"
Jadi bukan mau jadi murid…… tapi mau lepasin topengku ya!?
"T-tidak usah! Jiwaku sudah menyatu dengan topeng ini. Kalau kutukan dilepas aku akan mati!"
"Aku tidak akan membiarkanmu mati. Sampai aku bisa melihat wajahmu dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan bisa tidur tenang."
Elise memegang tanganku, matanya berkilat, menatap ke arah celah topengku. Aku berusaha keras memutar bola mata sampai putih semua seperti orang pingsan supaya tidak terlihat.
Begitu dia sadar ia tidak bisa melihat mataku, Elise mundur. Namun tangannya menggenggam kuat, seakan yakin dia akan berhasil menghapus kutukannya.
Karena aku bersikeras tak mau melepas topeng, di dalam dirinya mulai terbentuk teori:
"Pria bernama Cain yang menolongku = Nord."
Kayaknya aku malah menyalakan semangat "detektif keras kepala" yang mau memecahkan kasus apa pun…….
──── Ruang kerja Duke Vilance.
"Nord, kudengar kau tidak mau pergi ke Akademi Pahlawan. Benarkah?"
"Iya! Aku tidak akan masuk Akademi Pahlawan!"
"Dasar bodoh!!"
Pria berambut panjang berombak, wajah panjang dengan dagu runcing, tatapan tajam seperti orang sangat sensitif—dia membentakku.
Itu ayahku di dunia ini, Wald. Teriakannya membuat perabot dan kaca pintu bergetar, para pelayan di samping pun tersentak.
"Sudah kau tahu sendiri. Di Akkasen, tugas bangsawan itu apa! Selama dua ratus tahun, pengguna sihir hampir semuanya bangsawan. Dengan alasan melindungi rakyat dari para iblis, bangsawan memungut pajak dan hidup makmur. Kau mau membuang peran itu!?"
Yang Wald bicarakan jelas versi Akkasen dari noblesse oblige.
Aku paham. Tapi aku tetap menggigit balik ayah yang selama ini membiarkan kami tanpa peduli lalu tiba-tiba sok menguliahi.
"Kau tak mengurus kami sama sekali, sekarang baru mau ceramah? Kau cuma peduli pada reputasi."
"Benar. Apa salahnya? Kau dan Marianne hanyalah milikku. Aku kira kau lebih cerdas, tapi rupanya aku salah menilai. Sia-sia aku berharap padamu."
"Jangan khawatir. Meskipun aku ‘bodoh’, kemampuanku cukup untuk hidup sebagai petualang!"
"Aku kecewa padamu, Nord! Aku bermaksud menjadikanmu bukti bagi seluruh bangsawan bahwa keluarga Vilance itu luar biasa, tapi kau malah bilang ingin jadi petualang……"
"Aku akan masuk Akademi Pahlawan dan—ngh…… guhah!"
Hah…… hah…… haa……
(Kalau aku masuk Akademi Pahlawan bareng Elise, aku bakal mati!!)
Aku ingin mengatakannya pada Wald, tapi tenggorokanku seperti dicekik oleh kekuatan aneh yang membuat tubuhku terangkat. Mungkin "kekuatan koreksi dunia" sedang bekerja.
"Baiklah. Lakukan sesukamu. Tapi mulai hari ini, jangan harap bisa melangkahkan kaki masuk rumah Vilance lagi."
"Iya! Aku akan hidup sebagai petualang di wilayah perbatasan. Terima kasih atas segalanya."
Aku berdiri dari sofa dengan suasana seperti habis bertengkar, dan ketika aku hendak meninggalkan ruang kerja, Wald memanggilku dan berkata dengan keras.
"Berhenti, Nord! Kalau kau mau keluar dari rumah, bawa juga Marianne!"
"Apaaa!?"
Aku sih tidak masalah hidup miskin seperti di kehidupan sebelumnya, tapi bagi Mari yang hanya pernah hidup sebagai bangsawan, itu terlalu kejam.
Wald memanggil Mari dan mendudukkannya di sebelahku.
"O-Onii-samaaa…"
Mungkin karena menangkap suasana tegang antara kami, Mari langsung memelukku. Air mata menggenang di kelopak matanya, tapi dia menahan diri agar tidak menangis, mungkin karena tidak ingin membuatku tambah terbebani.
Sial! Aku bisa tahan apa pun, tapi memperlakukan anak sepolos ini dengan kasar… itu tidak bisa kuterima
Hwaaaaaaan♪ Tiba-tiba sebuah adegan muncul di kepalaku.
"Onii-sama, aku lapar… ah, macaron!"
"Mari, itu bukan macaroni. Itu jamur beracun."
Salah satu adegan dari film perang yang menggambarkan duka kakak-adik di kehidupan sebelumnya… tiba-tiba tergantikan oleh kami berdua.
Dengan cepat aku menggeleng untuk kembali sadar, dan Mari yang masih kecil itu bertanya padaku dengan suara bergetar, seolah takut memikirkan masa depannya.
"Onii-sama… Mari bakal jadi miskin ya?"
"Hal itu tidak akan pernah aku biarkan terjadi!"
Aku berdiri dan menyatakan itu kepada semua orang di ruang kerja. Para pelayan menunjukkan ekspresi seakan berkata "syukurlah tuanku mengatakannya", tetapi langsung menunduk ketika Wald menatap mereka.
Para pelayan terlihat patah semangat, namun seseorang yang biasanya selalu tersenyum lembut dan bersikap anggun akhirnya bersuara.
"Tolong tunggu! Tuan, saya akan membujuk Nord-sama. Mohon, setidaknya maafkan mereka berdua dan jangan usir mereka."
"Nord menjadi besar kepala itu salahmu, Meina. Buat saja anak bodoh ini menurutmu—bujuk dia, atau ikat dia dengan tali, dan paksa masuk ke Akademi Pahlawan."
"Saya mohon maaf……"
Begitu Meina-san menunduk, amarah Wald yang sebelumnya meledak-ledak seperti besi panas, langsung seperti diredam air dan perlahan mereda.
"Meina berani menentangku…?"
Dengan siku bertumpu di meja kerja, Wald menghela napas sambil bergumam. Tampaknya dia benar-benar terkejut karena Meina-san, yang biasanya sangat pendiam dan tidak mungkin melawan, berani menyuarakan pendapat.
"Hmph, kau diselamatkan oleh Meina. Jangan terlalu merepotkan orang tuamu."
Setelah mengucapkan kata-kata seperti itu padaku, Wald bangkit, dipakaikan mantel oleh para maid, dan meninggalkan ruangan.
Begitu dia pergi, semua orang pun menghembuskan napas lega.
Setelah Meina-san sampai sejauh itu membelaku, aku tidak bisa melawan lagi. Aku tidak ingin mengotori wajah perempuan yang sudah memperlakukanku seperti anaknya sendiri.
Setelah kukatakan pada Mari bahwa dia bisa tetap hidup seperti biasa, dia langsung bersorak "Waaaiii♪!" dengan polos dan ceria, membuatku lega karena reaksinya sangat sesuai usia.
Meina-san mengatakan ingin bicara berdua denganku, jadi kami duduk di tepi ranjang di kamarku.
"Nord-sama… tidakkah Anda bisa mengerti keadaan Wald-sama?"
"Keadaan Wald?"
"Ya… meski selalu disebut memiliki kemampuan yang cukup, beliau tidak pernah bisa masuk jajaran lima pahlawan teratas, dan hanya mendapatkan gelar Pahlawan Kedua. Karena itu beliau menaruh harapan pada Anda…"
"Itu cuma ego orang tua. Dia bahkan jarang melihat kami berdua."
"Benar… dan karena frustasi itulah, beliau terobsesi ingin menjatuhkan para bangsawan yang termasuk lima pahlawan teratas…"
Jadi begitu. Wald berusaha menguasai Akkasen karena rasa rendah diri.
Saat aku mengangguk-angguk memahami penjelasan Meina, dia tiba-tiba menaruh telapak tangannya di atas tanganku.
"Nord-sama… maafkan saya. Tanpa kusadari, aku mulai menyukai Anda. Bukan sebagai anak… tapi sebagai seorang pria."
"Eh!?"
Ketika aku terkejut, Meina-san sudah melepaskan ikatan ponytail pekerjaannya. Dan begitu rambutnya terurai, keharuman lembut langsung menyapu hidungku, mengguncang kewarasanku.
Dia memejamkan mata seolah menunggu jawabanku.
Gulp.
Ini… pasti…
──── 【Sudut Pandang Meina】
Aku lahir sebagai anak dari seorang pelacur. Aku punya adik laki-laki dan perempuan, dan masing-masing dari kami punya ayah yang berbeda.
Kami bukan keluarga berada, namun karena mewarisi kecantikan ibuku, pada usia lima belas aku menarik perhatian seorang pria bernama Heine.
Dia mantan tentara bayaran.
"Aku sudah repot-repot mengambil anak pelacur sepertimu. Harusnya kau bersyukur."
Sepertinya dia memilihku hanya karena penampilanku.
Ibuku sering mengeluhkan pekerjaannya di rumah bordil, dan perlakuan Heine terhadapku terasa tidak jauh berbeda dengan klien pelanggannya.
Meski begitu…
"Lebih baik kau dipaksa melayani pelanggan tak jelas, atau aku saja yang mengambilmu!?"
"…Iya."
Ketika pekerjaannya sedang buruk, dia sering memukulku. Tapi aku tetap menenangkannya dan mendorongnya pergi bekerja, menjalani hari-hari berat itu demi sedikit membantu ekonomi rumah. Jika aku tidak menikahi Heine… mungkin aku akan mengikuti jejak ibuku sebagai pelacur.
Setelah beberapa waktu menerima Heine, suatu hari…
"Ukh…"
Mendadak mual naik dari tenggorokan. Kukira aku sedang masuk angin, tapi bukan alasan untuk berhenti mengerjakan pekerjaan rumah. Tubuhku goyah saat keluar ke kota, lalu kebetulan Countess Magadalia yang sedang melakukan penyembuhan melihatku.
"Oh? Anda. Tolong tunggu sebentar."
"…Saya?"
"Ya. Boleh aku letakkan tanganku di perutmu sebentar?"
Begitu tangannya menyentuh perutku, hawa dingin dan mual yang tadi terasa langsung lenyap dan berubah menjadi nyaman. Setelah itu dia berkata sesuatu yang mengejutkanku.
"Di perutmu… ada bayi. Selamat ya!"
"Ba… bayi?"
"Ya, bayi. Aku juga sedang mengandung, lho. Mungkin nanti kita melahirkan di waktu yang sama? Kalau persalinanku dimulai, aku harus menghentikan tugas penyembuhan, jadi kuberitahu sebelum itu."
Countess tersenyum sambil mengelus perutnya sendiri. Aku berharap Heine ikut bahagia… tapi kenyataannya—
Saat aku mengandung Rei dan menjelang melahirkan, Heine hampir tidak pernah pulang.
Belakangan aku baru tahu… ternyata dia sudah punya tunangan lain, dan aku hanyalah mainannya.
Rei lahir, tapi Heine tidak kembali. Tabungan yang sedikit pun habis, hidup hampir tidak berjalan.
Saat itu aku mendengar kabar bahwa ada bangsawan yang sedang mencari seorang pengasuh bayi.
Itulah keluarga Vilance. Aku menggendong Rei dan pergi ke mansion mereka.
"Aku datang untuk melamar sebagai pengasuh."
"Tolong tunggu sebentar. Tuan akan segera datang…"
Butler sekitar usia tiga puluhan yang menyambutku di pintu mengantarku ke ruang tamu. Tak lama kemudian seorang lelaki kurus dengan tatapan tajam masuk.
Dilihat dari penampilan, ini pasti Duke Wald Vilance. Dia menatapku sekilas lalu berkata dingin:
"Detailnya tanyakan pada maid."
Aku terkejut. Padahal anak pertama mereka baru lahir, tetapi Wald tidak terlihat bahagia sama sekali. Kebanyakan bangsawan mengadakan pesta besar sampai berhari-hari jika putra pewaris lahir… jadi kupikir mungkin dia hanya tipe yang memendam perasaan.
Setelah maid memeriksa bagaimana aku menyusui Rei, aku akhirnya diizinkan bertemu Duchess Madadalia di ruang tidur.
Di tengah ranjang megah bak ilustrasi dongeng, seorang wanita cantik pucat terbaring lemah. Di sisinya, seorang bayi mungil dibedong dan tertidur tenang.
Setelah perkenalan, Dahlia-sama membelai bayi itu dengan lembut dan berkata:
"Meina-san… anak ini bernama Nord. Tolong gantikan aku menjaganya."
"Baik!"
Saat aku menjawab, Dahlia-sama tersenyum lega meski matanya berkaca-kaca, dan menyerahkan Nord-sama kepadaku.
Tak lama setelah itu, Wald datang.
"Dahlia, jangan memaksakan diri. Kondisimu belum pulih."
"Iya… tapi aku ingin Nord bersama Meina-san…"
"Bagiku, kau lebih penting."
Melihat cara Tuan Wald memandang Dahlia-sama dengan sepasang mata tajam yang seolah menembus siapa pun yang melihatnya, tatapan itu justru sangat lembut—bagaikan sinar matahari hangat di akhir musim dingin.
Sepertinya Dahlia-sama, istri Tuan Wald, memang memiliki tubuh yang sejak awal tidak terlalu kuat, dan karena air susunya juga tidak keluar dengan baik, akhirnya aku yang dipilih menjadi pengasuh.
────Mungkin sekitar dua tahun telah berlalu. Aku bekerja sebagai pelayan yang tinggal di rumah ini, terus-menerus terkejut karena perbedaan kehidupan di rumah keluarga Vilance dibandingkan kehidupanku dulu di rumah orang tuaku atau rumah Haine—perbedaannya bagai langit dan bumi. Semua anggota keluarga Vilance memperlakukanku dengan sangat baik.
Meskipun ASI masih keluar, tugasku sebagai pengasuh sudah berakhir……
Aku yakin tinggal menunggu waktu sampai aku dilepas dari pekerjaan, dan saat itu aku terus memikirkan bagaimana cara hidup sambil membawa Rei.
Saat itulah aku dipanggil oleh Nyonya rumah. Aku sempat sangat takut, mengira akhirnya saat itu datang. Namun ketika beliau melihat Nord-sama, yang bersembunyi di belakang kakiku—lebih tepatnya di belakang kakiku daripada punggungku—beliau berkata kepadaku:
"Meina-san, sepertinya Nord menyukai Anda. Bisakah Anda tetap bekerja di rumah ini seperti sekarang?"
"Madam! Tentu saja, jika saya memang pantas……"
"Baguslah, Meina."
"Terima kasih banyak, Madam, Nord-sama."
Tiga tahun lagi berlalu setelah itu. Suatu hari, Nord-sama tergesa-gesa mengetuk pintu kamarku, lalu langsung masuk dan berkata:
"Meina! Kau tahu tidak? Sebentar lagi aku akan punya adik!"
"Ya! Dahlia-sama sudah memberi tahu aku."
"O-oh begitu…… kalau begitu tidak apa. Ngomong-ngomong, Meina punya saudara kandung? Bagaimana rasanya punya saudara?"
"Ya, aku punya dua……"
Ayah kami berbeda…… Itulah yang ingin kukatakan, tapi rasanya tidak pantas membicarakan hal serendah itu kepada Nord-sama, jadi aku menahan diri. Namun melihat beliau yang tampak begitu penasaran, aku akhirnya ingin jujur tentang perasaanku yang sesungguhnya.
"Itu hal yang baik, punya saudara itu menyenangkan."
"Begitu ya. Aku jadi semakin menunggu-nunggu."
Akhirnya saat persalinan tiba. Seorang penyembuh terkenal dari Akkasen dipanggil, tetapi tetap saja tidak sebanding dengan kemampuan penyembuhan Countess Madadalia yang berada di puncak dunia penyembuhan.
"Uuuh… uuuh…"
Tuan Wald menggenggam tangan Dahlia-sama, terus mendukung dan menyemangati beliau. Namun penyembuh itu kemudian melaporkan bahwa kondisi Dahlia-sama tidak baik.
"Kunjungan dilarang! Nord, kau pergi ke sana dulu."
Saat kami diusir keluar dari kamar, Nord-sama—yang biasanya selalu bersikap kuat—menggumamkan satu kata lirih yang membuat dadaku terasa sesak.
"Ibu……"
Bukan hanya tidak bisa bersama ayah, bahkan bersama ibu pun tidak bisa—kesedihan itu terasa begitu jelas dalam suara itu.
Setelah melahirkan Marianne, Dahlia-sama dipindahkan ke tempat peristirahatan untuk pemulihan atas keputusan Tuan Wald.
"Anak ini, Dahlia meminta agar kuserahkan padamu."
Tanpa memperlihatkan sedikit pun rasa kasih sayang, Tuan Wald menyerahkan bayi itu kepadaku seolah menyerahkan sebuah barang.
"Tapi…… saya……"
"Cukup lakukan gerakannya saja. Kalau dia mati, ya sudah."
Aku memang dipercaya oleh Dahlia-sama untuk merawat Marianne… tetapi berbeda saat aku melahirkan Rei, sekarang aku sudah tidak mungkin bisa mengeluarkan ASI lagi.
Kalau mereka mempekerjakan pengasuh lain, tugasku benar-benar selesai. Aku tidak bisa kembali ke rumah orang tua, dan suamiku pun tidak peduli padaku. Kalau begitu, aku hanya bisa hidup berdua dengan Rei di rumah kosong itu……
"Funyu, funyu…… u, u, u, ogyaaah! Ogyahhh───!"
Saat Marianne menangis, Tuan Wald hanya pergi begitu saja meninggalkan ruangan.
Dahlia-sama, Marianne… maafkan aku……
Aku tidak bisa menenangkan Marianne.
Saat terbangun dan menyadari ibunya, Dahlia-sama, tidak ada di sisinya, Marianne menangis sejadi-jadinya bagaikan api yang baru disulut.
Saat itu, tidak ada seorang pun di rumah ini yang bisa menghentikan tangisannya. Dari pengalamanku merawat Nord dan Rei, aku tahu bahwa yang beliau cari adalah ASI.
Tapi aku sudah tidak punya ASI lagi……
"Meina, kau tidak bisa melakukan apa pun…?"
Nord menjatuhkan bahunya, padahal beliau akhirnya mendapatkan seorang adik yang sudah lama beliau idamkan.
Saat itu, ketika aku mendengar tangisan Marianne-sama, aku merasakan dadaku menegang. Tidak mungkin…… pikirku. Saat kuraba, rasanya memang berbeda dari biasanya.
Saat aku membuka bra dan memeriksa bagian dalamnya, ada sedikit kelembapan……Tapi bukan cairan putih seperti ASI. Mungkin hanya keringat karena aku panik.
Ketika aku mengangkat Marianne-sama, beliau menekan payudaraku dengan tangan kecilnya, seolah mencoba merangsangnya.
Padahal matanya belum terbuka, tetapi beliau menemukan putingku dan mengisapnya. Itu mungkin naluri untuk bertahan hidup.
Kalau bisa…… aku ingin memenuhi kebutuhannya.
Marianne-sama mengisap putingku dengan bibir dan lidah mungilnya dengan sangat terampil.
"Ah… Marianne-sama……"
Seperti yang kuduga dari adik Nord-sama…… suara aneh lolos dari bibirku. Rasanya seolah ASI yang seharusnya tidak mungkin keluar itu benar-benar keluar.
Kalau menjilati kulitku bisa membuat Marianne-sama berhenti menangis, aku rela.
"Tak mungkin……"
Dari sudut bibir Marianne-sama, menetes cairan putih.
"Meina! Itu…… ASI……"
Nord-sama yang memantau dengan tegang menyentuh sudut bibir Marianne-sama dengan jarinya, lalu memeriksanya. Beliau juga membawa jarinya ke arahku, dan ketika kucicipi……
"Be… benar…… ini ASI……"
Aku pernah mendengar cerita tentang induk kucing yang menyusui anak kucing terlantar, tapi tidak pernah terpikir hal seperti itu bisa terjadi padaku……
Aku hanya bisa bersyukur atas keajaiban ini pada seluruh keluarga Vilance.
Saat aku merasa bahagia karena bisa menyusui dua anak ini menggantikan Dahlia-sama, sekaligus dipenuhi rasa bersalah karena mengambil peran yang seharusnya dilakukan beliau sendiri……
"Sepertinya ada tamu yang mencarimu, Meina."
"Ada tamu untukku?"
Melihat Nord-sama yang berdiri dengan tangan terlipat dan wajah serius, aku sempat mengira Haine datang untuk menjemputku pulang…… tetapi……
"Meina, tidak apa. Aku ada di sini."
Ketika Nord-sama menyadari tubuhku gemetar, beliau menggenggam tanganku dan menyemangatiku. Padahal Nord-sama baru berusia lima tahun, tetapi betapa menguatkannya hal itu bagiku.
Sebagai orang dewasa, sangat memalukan kalau aku gemetar di depan seorang anak. Dengan pikiran itu, aku memaksa kakiku yang bergetar untuk melangkah.
Saat tiba di depan ruang tamu bersama Nord-sama, aku mendengar kepala pelayan Lux dan rekan kerjaku sedang bergosip.
"Sepertinya pasangan pewaris keluarga Baron Marc diserang kawanan monster ketika sedang meninjau wilayah, dan kereta yang mereka tumpangi jatuh dari tebing. Katanya mereka sekeluarga tewas."
Dari cerita mereka, tamu yang datang tampaknya adalah Baron Marc, tetapi aku sama sekali tidak mengerti mengapa beliau mencariku.
Jangan-jangan waktu aku sedang berbelanja, aku diperhatikan dan akan dipanggil ke rumah untuk dijadikan pengganti pelacur……
Kalau menjadi pendamping malam seorang bangsawan, mungkin hidupku akan lebih baik dari sekarang, tapi aku tidak mau berpisah dari Nord-sama dan Marianne-sama.
Saat aku membuka pintu dengan niat menolak bila itu memang maksudnya, tiba-tiba—
"Ibu!?"
"Lama tidak bertemu, Meina!"
"Kakak, sudah lama~"
"Onee-tan, halo"
Di sana berdiri ibu dan kedua adikku, mengenakan pakaian bangsawan. Di samping mereka duduk seorang pria paruh baya berambut putih yang terlihat ramah.
Setelah pernikahanku dengan Haine hampir hancur, aku mendapat banyak bantuan dari keluarga Vilance, gajiku pun cukup besar sehingga aku sempat mengirim uang, tetapi sejak ibu menolak kiriman itu, kami tidak pernah bertemu lagi.
Hah!? Saat itu aku sadar.
"Kalian semua mau dijadikan satu paket sebagai pelacur keluarga!?"
Betapa bejat……
Aku tidak bisa memaafkan orang yang ingin memanfaatkan kematian anaknya untuk membuat ibu dan kedua adikku terlibat dalam pesta pora keluarga seperti itu.
"Ibu tidak apa-apa, tapi aku tidak akan membiarkan adik-adikku disentuh! Kalau mencari teman tidur, aku yang akan menanggungnya! Da—dan… permainan menyusui pun aku ahli!"
Orang yang terlihat paling ramah biasanya yang paling berbahaya. Dengan pikiran itu, aku menantang bangsawan paruh baya itu.
"Meina-san… tidak, Meina. Aku tidak akan melakukan hal seperti itu. Aku datang untuk menjemputmu sebagai anakku."
"Anak…?"
Nord-sama pernah bilang, di negeri lain ada tren yang disebut 'papa-katsu', di mana anak perempuan melayani ayah angkatnya untuk mendapat uang…… Jadi pria ini ingin melakukan hal semacam itu denganku!?
"Anda ingin mengambilku sebagai anak tiri lalu mengajariku hal-hal tidak senonoh seperti itu, bukan!?"
Ketika aku berdiri dan menantang Baron Marc dengan tegas, ibu menatapku dengan wajah bingung dan mencoba menenangkanku.
"Meina… tenanglah dan dengarkan. Selama ini ibu diam saja, tapi sebenarnya kau adalah putri dari Baron Slane Marc yang ada di sini."
Aku sempat mengira ibu jadi gila karena mengidap penyakit dari klien.
"Yang Yuina katakan benar. Setelah kehilangan istriku dan dilanda kesepian, aku bertemu Yuina dan kami saling mencintai. Lalu kau lahir. Tapi anak-anakku tidak setuju saat aku ingin mengakui dirimu… Maaf karena tidak bisa menjemputmu selama ini."
Aku selalu mengira diriku hanyalah anak haram tanpa ayah, tapi ternyata seorang bangsawan adalah ayahku……
Saat kusadari, tanganku menutup mulut sendiri dan aku tak bisa berkata apa pun. Tuan Slane menunggu sampai aku tenang, lalu berbicara lembut.
"Aku ingin menerimamu sebagai putriku, dan ingin Rei—anakmu—mewarisi keluarga Marc. Bolehkah? Mari tinggal bersama kami, Meina."
Melihat beliau bukan hanya ingin mengambil ibu, tapi juga menerima kedua adikku yang berbeda ayah, aku langsung tahu betapa baiknya beliau.
Namun…
"Tentang Rei dijadikan pewaris, aku sama sekali tidak keberatan. Bahkan aku sangat berterima kasih… tetapi untuk menjadikan aku sebagai anak Anda, aku menolak."
"Mengapa? Kau tidak perlu lagi hidup susah atau menderita."
"Aku telah dipercaya oleh Duke Dahlia Vilance untuk menjaga Nord-sama dan Marianne-sama. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan di keluarga Vilance yang telah begitu berjasa padaku."
Tuan Slane berdiskusi panjang dengan ibu dan adik-adikku.
"Keputusanmu tampak sudah bulat. Kalau begitu aku tidak akan memaksa. Tapi setidaknya saat libur, datanglah untuk menunjukkan wajahmu. Kau tetap anakku."
"Terima kasih banyak…"
Aku ingin memanggilnya ‘Ayah’… tapi ragu apakah aku boleh, jadi akhirnya aku tidak mengatakannya.
────Kurang dari seminggu setelah itu, masalah muncul.
"Meina, kau tidak boleh keluar sekarang."
Kepala pelayan Lux menghentikanku yang sedang hendak pergi berbelanja.
"Untuk pekerjaan luar hari ini biarkan kami. Kau jaga Marianne-sama saja."
"B—baik… tapi kenapa?"
"Lebih baik kau tidak tahu alasannya."
Lux sangat keras melarangku keluar. Karena penasaran, aku melihat ke luar jendela, dan kulihat seorang pria yang kukenal sedang memaki Butler Graham.
"Kembalikan anakku!!"
Itu Haine. Suaranya terdengar jelas walau jendela tertutup, tetapi Graham terlihat acuh tak acuh.
Lalu Nord-sama datang dengan wajah santai. Karena sangat khawatir pada beliau, aku keluar melalui pintu belakang dan mengintip mereka dari balik bayangan.
"Meina sedang menyusui adikku. Kalau kau mencarinya, bilang padaku."
"Kau siapa, hah?"
"Benar-benar rakyat jelata yang tak punya sopan santun… Tidak apa. Aku Nord Vilance. Putra pewaris."
"Aku tidak peduli kau anak duke atau apa! Meina itu istriku! Apa salahnya aku membawa pulang istriku sendiri!?"
"Oh? Tanpa mengurus keluarga sedikit pun, bahkan berselingkuh, kau masih ingin mengambil Meina dan Rei kembali…?"
"Tutup mulutmu! Mereka milikku! Orang luar jangan ikut campur!"
Alasan Haine datang langsung kupahami. Dia mendengar bahwa aku adalah putri Baron Marc, dan ingin memakai Rei untuk mendapatkan harta keluarga tersebut!
"Menurut cerita Meina, kau mantan prajurit bayaran, bukan? Kalau begitu mari tentukan lewat duel."
"Bangsawan sialan! Kalian selalu pakai sihir, kan!? Itu curang! Lawan jantan itu harus bertempur tanpa sihir!"
"Sihir, hm… baiklah, aku akan bertarung hanya dengan pedang. Kalau aku menang, kau tidak boleh protes."
Walaupun Nord-sama memiliki bakat luar biasa, ini terlalu berbahaya. Aku tidak menghiraukan larangan Lux dan buru-buru muncul di depan mereka.
"Nord-sama, tidak boleh! Demi aku, tidak perlu—"
"Meina! Diam! Ini duel antara aku dan bocah itu!"
"Kaulah yang diam."
Haine membentakku, tapi Nord-sama hanya menatapnya sekali—dan Haine langsung bungkam. Padahal beliau baru lima tahun… betapa besar wibawanya. Namun beliau segera berbicara padaku dengan suara lembut seperti biasa.
"Meina, jangan salah paham. Dia merendahkanku. Katanya bangsawan yang tak bisa memakai sihir itu sampah. Ini hanya hukuman untuk orang yang tidak tahu sopan santun."
Tentu saja itu hanya alasan—aku tahu beliau melakukannya demi aku.
"Aku tidak akan pakai sihir. Hanya pedang. Kalau perlu aku akan menyesuaikan tingkatnya."
"Dasar bocah sialan!! Jangan remehkan orang dewasa!"
Walaupun Nord-sama jenius, lawannya orang dewasa… dan Haine dulu prajurit bayaran. Namun Graham dengan tenang menyerahkan pedang kayu latihan pada keduanya.
"Graham, beri aba-aba mulai."
"Baik."
Aku hanya bisa mengatupkan tangan, berdoa agar Nord-sama tidak terluka.
"Mulai!"
Begitu Graham memberi aba-aba, Haine menyerang Nord-sama dengan kekuatan penuh. Benar-benar tanpa menahan diri, padahal lawannya anak kecil…
Bahkan orang dewasa yang waras pun akan menahan diri… namun—
Nord-sama tidak mengubah ekspresinya sedikit pun. Tanpa melakukan gerakan untuk menangkis pukulan ke kepala yang dilancarkan Haine dengan pedang, beliau hanya menilai arah tebasan dengan cepat dan memiringkan tubuh untuk menghindar. Pada saat yang sama, ujung pedang kayunya sudah mengarah tepat ke tenggorokan Haine.
"Pemenang, Nord-sama!"
Jelas sekali Nord-sama menang, tetapi Haine tidak terima. Dengan tangan kanan memegang gagang dan tangan kiri memegang ujung pedang, dia menekan bilah pedang ke lututnya dan mematahkannya begitu saja.
"Cih! Jangan besar kepala cuma karena bisa menang pakai pedang mainan dari kayu kayak begini!"
Dengan marah, Haine menarik pedang asli yang tergantung di pinggangnya, lalu menodongkan ujung tajamnya ke arah Nord-sama.
"Kenapa? Sampai gak bisa keluar suara gitu? Dasar anak kecil……"
Nord-sama sama sekali tidak gentar terhadap Haine. Beliau memanggil Graham-san untuk membawa pedangnya, lalu menepuk-nepuk sarung pedang itu ringan untuk memeriksa rasanya.
"Aku akan bertarung pakai ini. Serang kapan saja sesukamu."
Nord-sama mengambil posisi dengan maingauche—sebuah belati. Seharusnya itu adalah senjata yang digunakan bersama pedang panjang secara dua tangan… tetapi Nord-sama hanya menggunakan maingauche saja.
Meskipun Haine mengemukakan alasan aneh agar tidak perlu menyerah, Nord-sama menangkis pedangnya dengan maingauche, dan dalam sekejap sudah berada di belakangnya.
"Belahan pantat kotormu itu, mau kubuat bukan cuma satu arah, tapi juga ke samping? Kalau begitu mungkin kau bisa jadi populer di kalangan laki-laki juga."
"Hii!?"
"Hmph, sepertinya berapa kali pun hasilnya tetap sama."
"Tidak mungkin! Aku kalah dari anak kecil seperti ini… dan bahkan tanpa menggunakan sihir……"
"Kau berencana balikan dengan Meina dan jadi menantu bangsawan atau apa…? Tapi untuk orang lemah yang bahkan kalah dari anak kecil, seratus tahun terlalu cepat untuk bermimpi jadi bangsawan."
Aku heran mengapa Nord-sama sengaja memberi Haine kesempatan seperti itu meskipun itu berbahaya, tetapi ternyata Nord-sama ingin Haine merasakan kerasnya dunia bangsawan secara langsung.
"Antarkan orang ini pulang ke rumah keluarganya. Jangan lupa menagih biaya antar-jemput."
Nord-sama memberi perintah pada Graham-san, dan kereta pun berangkat menuju rumah keluarga Haine. Dengan borgol di tangan dan kaki, Haine hanya bisa meringkuk ketakutan seperti kucing yang dipinjam.
Beberapa waktu kemudian, saat Graham-san kembali dan menyerahkan sebuah kantong, Nord-sama mengambilnya dan memberikannya langsung kepadaku.
"Meina, hanya sedikit, tapi ini uang kompensasi. Gunakan sesukamu untuk membayar kekacauan yang dia sebabkan padamu."
"Nord-sama……"
Satu tangan itu terulur dengan sikap yang tampak acuh. Nord-sama sering disalahpahami karena sikapnya yang terlihat arogan sebagai bentuk rasa malu, tapi aku yang menjadi pengasuhnya tahu bahwa beliau sebenarnya sangat lembut.
Hanya dengan menerima ketulusannya itu, aku tidak bisa lagi menahan perasaanku.
Saat melihat air mataku yang jatuh mengenai uang itu satu tetes demi satu tetes, Nord-sama menunjukkan ekspresi panik yang langka.
"Apa!? Jumlahnya kurang? Kalau begitu, mau kubawa rampasan rumah dan tanah mereka juga!?"
"Tidak… aku senang. Nord-sama melakukan semua ini demi aku."
"Aku dibesarkan dengan meminum ASI-mu. Itu hal yang wajar."
────Saat ini.
Setiap kali aku menceritakan kejadian beberapa tahun lalu, Nord-sama akan terlihat malu dan langsung berusaha mengakhiri pembicaraan.
"Mungkin karena aku masih kecil waktu itu, ingatanku tidak begitu jelas. Aku hanya melakukan hal yang sewajarnya sebagai majikan Meina. Tidak perlu dipikirkan."
Beliau menjalani hari-harinya tanpa memedulikan jasa besar yang pernah diberikan.
Aku yang tidak mengenal apa itu cinta…
Aku jatuh cinta pada Nord-sama yang baru berusia lima tahun saat membebaskanku dari belenggu Haine, dan sampai sekarang perasaan itu tidak pernah padam—bahkan semakin membara hingga rasanya tubuhku meleleh oleh panasnya.
────【Sudut Pandang Nord】
"Nord-sama… maafkan aku. Tanpa kusadari, aku jatuh cinta pada Nord-sama. Bukan sebagai orang tua dan anak… tapi sebagai seorang wanita……"
"Eh!?"
Saat aku terkejut, Meina-san sudah melepas ikatan kuncir kudanya—gaya rambut yang biasa ia gunakan saat bekerja. Begitu dilepaskan, harum lembut rambutnya menyebar dan mengoyak kewarasanku.
Dia menutup mata, seakan menunggu jawabanku.
Gulp. Ini… benar-benar…
Meina-san, yang bukan anggota keluargaku, telah memberiku kasih sayang tulus seolah aku anak kandungnya sendiri. Dan kini dia menutup mata, menungguku.
Dia selalu menekankan bahwa dirinya sudah berumur, tapi itu sama sekali tidak benar! Hanya saja jika dibandingkan aku yang bereinkarnasi, tentu beda—namun dibanding diriku sebelum reinkarnasi, dia masih jauh lebih muda.
Saat aku menyentuh pipinya, kelembutan segar yang seperti menyerap ke jari terasa jelas.
"Nord-sama… tidak perlu menahan diri. Perlakukan Meina ini sesukamu."
Walaupun usia mentalku dewasa, pertama kali tetap membuat gugup. Entah apakah dia menyadari kegugupanku dari gerak jariku, dia berbicara lagi.
Saat di kehidupan sebelumnya aku adalah pria lajang berusia hampir 30 tahun, lalu bereinkarnasi menjadi seorang ksatria gelap yang unggul dalam sihir juga… entah kenapa rasanya ada keterkaitan yang aneh.
Nord sebelumnya mempunyai kekuatan luar biasa, tetapi tidak bisa membuat siapa pun bahagia.
Aku… walaupun hanya dalam lingkup kecil, ingin bahagia. Hanya bersama Meina-san dan Mari sebagai keluarga sungguhan pun tidak apa-apa.
Sebagai wujud tekad itu…
Aku mencium bibirnya yang berwarna merah lembut, bibir yang membuatku ingin menyentuhnya sejak tadi.
Mencium Meina-san—yang selama ini seperti ibu pengasuh bagiku—untuk pertama kalinya, membuat perasaan berdosaku kalah oleh rasa terlarang yang menggelora, dan bahkan dalam hidup lamaku sekalipun aku belum pernah merasakan gairah sedalam ini.
Saat perlahan membuka mata, tatapanku bertemu dengan tatapan Meina-san.
Pipinya memerah, menampilkan ekspresi malu sekaligus bahagia. Mungkin aku juga sama merahnya.
"Nord-sama, aku senang. Beliau memberikan ciuman sedalam itu pada wanita sepertiku."
"Meina, jangan merendahkan diri. Bagiku kau terlalu menarik. Boleh aku menciummu lagi?"
"Aku senang bibirku disukai oleh Nord-sama."
Chuu, chuu, chuu, chuu, chuchuu.
Aku mencium bibir Meina berulang kali, seperti orang tua mencium pipi anak kecil.
"Mmpphh!?"
Kemudian, Meina tersenyum, memeluk belakang kepalaku, dan membuka mulutnya, memasukkan lidahnya seolah memberi contoh padaku yang masih perjaka, dengan bibir kami masih bersentuhan.
Otakku terasa mau meleleh dibelai lidahnya.
Sambil berciuman, kami berdua terjatuh di tempat tidur, tapi sebagaimana layaknya ranjang bangsawan, tempat tidur itu melingkupi tubuh kami dengan lembut.
"Nord-sama... Jangan tegang. Awalnya bisa dimulai dengan bercanda saja."
"A, aa..."
Kata-katanya mengingatkanku pada malam musim dingin yang dingin.
'Meina! Tidurlah bersamaku!'
'Ya, Nord-sama.'
Meski dengan nada perintah yang lancang, Meina tidak menunjukkan wajah kesal sama sekali dan menjawab dengan senyuman. Saat aku menjadi Nord, di usia yang jauh lebih muda dari sekarang, Meina pernah berbagi ranjang dan menghangatkanku.
Seperti waktu itu, kakiku kini melilit kakinya. Perbedaannya adalah aku sudah memasuki masa puber, dan kami saling menggesekkan bagian-bagian sensitif kami.
Seperti caranya Meina dan yang lain selalu membersihkan keringatku, aku menjilat leher Meina.
"N-Norddd-sama! Aih, geli ♡"
Napas manisnya terhembus, dan seperti tukang tahu, detak jantungku berputar hingga tepat sebelas ribu putaran.
Aroma harum Meina yang tercium dari rambut dan lehernya, serta suara erangannya, mengubah diriku dari sekadar bocah menjadi seorang laki-laki seutuhnya.
Dengan tangan gemetaran, aku memaksa menarik seragam maid Meina yang pantas disebut "kantong susu" itu ke bawah, dan seperti melon yang meloncat dari kantongnya, payudaranya yang montok muncul.
Payudara yang penuh…
Meski hanya dua buah, karena terlalu bersemangat, pikiranku menjadi lebih rendah dari kera. Aku mulai memerah langsung dari dadanya yang nyaris meledak itu.
Meina menunjukkan ekspresi seolah berkata, jangan terlalu menyiksaku. Setelah pemanasan yang cukup, sekarang aku akan memastikan cinta kami berdua.
Karena gugup, suaraku menjadi tinggi.
"Me, Meina, aku mulai ya."
"Ya... Silakan kapan saja, Tuan."
Meina mengulurkan kedua lengannya dari bawah seolah memohon padaku, dan menerimaku.
Aku dan Meina telah menjadi satu.
Ketika aku terbangun, di sampingku ada sosok Meina yang tertidur dengan wajah yang tampak bahagia.
Aku menyibak selimut yang menutupiku, dan dengan hati-hati turun dari ranjang agar tidak membangunkan Meina. Aku telanjang bulat.
Dari jendela balkon, cahaya matahari perlahan menyinari, dunia yang gelap gulita mulai terang dengan diwarnai kemerahan.
Aku telah "lulus" sebelum memulai sekolah di Akademi Pahlawan…
Bercinta dengan seorang gadis, sesuatu yang tidak kesampaian di kehidupan sebelumnya!
Sambil berdiri telanjang dibawah matahari pagi yang terbit, aku gemetar karena rasa haru yang perlahan menguat, ketika Meina tampaknya terbangun dan memanggilku sambil masih terbungkus selimut.
"Ah... Dipeluk oleh Nord-sama, Meina benar-benar merasa menjadi orang yang paling beruntung. Meina tidak tahu ternyata begitu menyenangkan dicintai oleh orang yang sangat tercinta. Meina jadi agak cemburu pada tunangan Nord-sama nanti."
Senyuman kecilnya yang memancarkan "fufu" sama sekali tak kalah dengan gadis remaja yang cantik.
Aku, dengan latar belakang matahari pagi, berkata pada Meina.
"Aku akan mencintaimu berulang kali, Meina. Bersyukurlah."
"Terima kasih banyak."
"Dan hentikan panggilan 'Tuan' itu."
"Hah?"
"Aku dan Meina sekarang adalah pasangan kekasih. Memanggil dengan nama akan terasa lebih nikmat."
"Iya!"
Begitu aku menciumnya, kami berdua langsung terbakar nafsu, dan aku pun menikmati kulit Meina, yang sebelumnya adalah seorang istri.
"Ti-Tidakkk..."
Seharusnya mesin yang sudah berputar hingga Zona Merah itu mengempis hanya dengan mendengar suara manja Meina, namun persiapan untuk melakukan gerakan piston yang ganas lagi justru sudah siap.
Setelah ini, kami bercinta dengan sangat hebat!
Di tengah-tengah, kami juga bersenang-senang dengan Meina berperan sebagai pelayan yang bersifat dominan (S), tetapi karena terlihat tanda-tanda kelelahan padanya, kami memutuskan untuk beristirahat.
Meina yang berbaring dengan lenganku sebagai bantal mengajukan sebuah permintaan.
"Nord-sama, Anda tidak akan lagi berkata hal semaunya seperti tidak mau mendaftar ke Akademi Pahlawan, bukan?"
"A, aah itu..."
Dia memelukku dari samping dengan penuh kasih sayang, dan aku terikat oleh cinta sepenuh jiwa dan raganya dihadapanku…
Seolah merasa tenang dengan kata-kataku itu, Meina tertidur dengan napas yang lembut dan tenang. Melihat Meina tidur dengan tampak begitu bahagia, tekadku untuk bertahan hidup semakin menguat.
Awalnya aku berniat menolak perintah dari Wald, tetapi karena diminta oleh pengasuhku, Meina, aku akhirnya dengan setengah hati berangkat mengikuti ujian masuk Akademi Pahlawan.




Post a Comment